EMILIA POV
🤍
Panas... dan akupun mulai bercerita.
"Aku ingat teriakan seseorang membangunkanku. Aku langsung bangkit dari tempat tidur dengan wajah basah oleh keringat. Paru-paruku mulai terbakar oleh asap yang memenuhi kamar kecil itu. Butuh beberapa saat bagiku untuk sadar apa yang sedang terjadi, dan bahkan bukan asap yang membuatku sadar, melainkan teriakan seseorang.
Aku ingat aku melihat ke bawah, ke tempat tidurku, dan aku membayangkan diriku terbaring di sana, terbungkus dalam sprei bergaris putih, api melahap kasur, menjilat dinding dan sandaran kepala, dan meluncur menuju rambut pirang panjangku yang terhampar di atas bantal, cepat, seperti ular gurun yang bergerak turun dari atas bukit pasir.
Semua terasa bagaikan sebuah mimpi, tapi aku tahu aku tidak sedang bermimpi. Aku tidak ingat kapan aku berdiri dari tempat tidur. Atau bagaimana aku bisa berada di sana, tapi teriakan di lorong terdengar semakin keras. Aku mendengar suara benda jatuh dan derik keras di luar pintu. Suaranya terdengar seperti sesuatu runtuh. Mungkin langit-langit rumah yang runtuh. Entahlah. Dari bawah pintu, aku melihat cahaya di lorong berkedip-kedip, menyala lalu mati.
Teriakan berhenti, dan aku merasakan jantungku naik ke tenggorokan.
Kemudian, waktu seolah melompat, aku tidak lagi berdiri di dekat tempat tidur. Aku sedang memanjat keluar jendela dan menuruni tangga darurat.
Aku terpeleset, dan semuanya menjadi hitam."
Aku berhenti sejenak untuk menoleh ke arah Ace. Pria itu memperhatikanku tanpa bergerak, menunggu. Mencerna. Hening.
Setelah beberapa saat, aku mengalihkan pandanganku kembali ke belakang kepala pria itu dan melanjutkan.
"Meski gelap aku tahu aku masih sadar. Aku tidak pingsan. Aku masih bisa mendengar napasku dari lubang hidungku yang sesak. Aku mendengar dan merasakan detak jantungku di kepalaku, berdegup kencang, berdetak dengan keras di pembuluh darah di pelipisku.
Tapi semua yang ada di sekitarku sunyi; suara sirene dan klakson perlahan memudar di latar belakang.
Lalu aku mendengar suara. Suara seorang wanita. Awalnya terdengar jauh, seolah ia berbicara kepadaku dari balik dinding, atau dari ujung lapangan luas. Sebelum suaranya semakin dekat.
Sudah kukatakan aku akan menemukanmu, wanitaitu berkata dengan nada kejam, mengejek, penuh kepuasan.
Aku mencoba membuka mata, tetapi kelopak mataku terasa terlalu berat. Ujung-ujung jariku mencakar permukaan kasar yang keras. Aku menekankan telapak tanganku ke depan, mencoba menebak di mana aku berada dan apa yang terjadi.
Atau bagaimana aku bisa berada di sana.
Tubuhku membeku dan aku memeluk diriku sendiri saat aku mulai batuk, pipiku menggesek kasar permukaan keras yang mulai terasa seperti beton atau aspal. Aku merasakan asap di paru-paruku. Aku merasakan panasnya membakar kerongkongan dan bagian belakang tenggorokan serta lubang hidungku.
Aku batuk lagi dengan keras dan mencoba mengatur napas saat tubuhku diam. Aku menjerit ketika merasakan tusukan di belakang mataku. Rasanya seperti besi panas sedang ditusukkan ke dalam lubang hidungku dan mengorek ke dalam otak. Aku mencoba bernapas melalui mulut. Bibirku kering, pecah-pecah, dan berdarah, dan mereka juga terasa seperti asap.
Air mata merembes dari mataku dan tubuhku bergetar layaknya gumpalan otot dan tulang yang menggigil. Aku pikir aku akan mati di sini. Di mana pun ini.
Aku kedinginan.
Kau seharusnya tahu, Em, suara itu kembali terdengar, tepat di belakangku seakan ia berdiri di sana.
Aku mencoba sekuat tenaga membuka kelopak mataku, tapi seperti hal lainnya dalam diriku, mataku terasa terbakar.
Siapa kau? Aku bertanya dengan suara pecah. Aku butuh air. Aku butuh sesuatu untuk membasahi mulutku. Aku butuh udara...
Suara itu tertawa pelan, dan kekejaman dalam tawanya membuatku ketakutan hingga menggigil. Aku merasakan panas di sisi wajahku, sisi yang tidak menempel pada permukaan keras. Lalu aku mendengar suaranya lagi, dan aku tahu ia berada tepat di sana, melayang di atasku dengan mulutnya dekat denganku, menelusuri jalur dari daun telingaku hingga ke sudut bibirku.
Aku merasakan bibirnya di bibirku, begitu hangat, lembut, dan penuh kasih. Tubuhku dingin, sangat dingin, dan bibirnya begitu hangat sehingga aku tidak sanggup melawan. Aku merasakan lidahnya menyelinap ke dalam mulutku dan perlahan berbaur dengan lidahku. Kelopak mataku, yang sebelumnya berat, sekarang tertutup rapat dan membuatku sama sekali tak bisa mengendalikannya lagi.
Kau akan selalu menjadi milikku, Em, ia berbisik di bibirku. Kau berhutang padaku.
Kesejukan tangannya mengelus kulit perutku ketika ia menyelipkan tangannya ke depan celana piyama katun tebalku. Aku merasakan jari-jarinya menusuk ke dalamku dengan kasar, menyakitkan, dan mataku terbuka lebar untuk melihat wajahnya menatapku dengan kebencian.
Aku tidak berani bergerak. Mulutku membeku.
Matanya yang gelap berputar dalam cahaya bintang langit malam, siluet rampingnya diterangi oleh lampu jalan beberapa meter di belakangnya. Rambut hitam pekat, dipotong pendek di sekitar wajah ovalnya, setiap sisi mengikuti lekukan rahangnya. Cantik. Mematikan. Jahat.
Aku takut.
Ketika aku kembali mendengar suara kota yang ramai, aku mulai terbatuk. Tidak berhenti terbatuk hingga aku berpikir paru-paruku akan ikut keluar bersama dengan air liur hitam yang aku muntahkan ke tanganku. Ketika aku akhirnya bisa bernapas, aku bisa melihat langit hitam tanpa bintang di atasku, bergulir dengan awan musim dingin dan udara dingin yang menusuk.
Tubuhku gemetaran begitu keras hingga rasanya tulang-tulangku akan hancur seperti kaca jika aku tidak bisa mengendalikannya. Aku menoleh dan aku bisa melihat bahwa wanita itu sudah tidak ada. Aku kira aku mendengar suara sepatu bot hitamnya di salju di belakangku saat aku tersedak batuk untuk terakhir kalinya. Seluruh tubuhku terasa nyeri. Kukira kakiku patah. Sungguh aneh bagaimana aku tidak merasakan sakitnya sebelum ini.
Aku menggertakkan gigi dan menutup mataku rapat saat rasa sakit menghantamku. Aku mendengar suara-suara lain mendekat. Polisi. Pemadam kebakaran. Atau mungkin ambulance.
Mataku terbuka dan tertutup oleh rasa sakit dan kelelahan, tapi aku berusaha melawan. Aku ingin melihat apa yang terjadi di sekitarku. Aku ingin tahu apakah wanita itu masih ada di dekat sini. Saat para paramedis merawatku, aku tidak memperhatikan mereka, bahkan ketika mereka bertanya untuk melihat seberapa waspadanya aku, aku hanya melihat melewati mereka, ke arah jalan yang dipenuhi cahaya merah dan biru yang memantul dari dalam kegelapan malam.
Kerumunan orang telah berkumpul sekarang, semua mengenakan mantel tebal musim dingin, menunjukkan tangan mereka yang mengenakan sarung ke arah kobaran api yang masih terbakar di belakangku.
Tapi ada satu sosok yang tampak mencolok dari semua kekacauan yang terjadi di sekelilingku. Seorang pria yang berdiri di antara semuanya. Terlihat tenang dan tidak terpengaruh oleh apa yang terjadi.
Aku melihatmu, Ace.
Dan kau melihatku.
Menembus kerumunan, melintasi tubuh-tubuh yang bergerak dan sesekali menghalangi pandangan kita. Matamu menembusku seperti... seperti sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Yang kutahu, perutku terasa panas, dan aku takut. Aku ingin mengedipkan mataku dan kabur, tapi aku tidak sanggup. Aku tetap ingin melihatmu.
Aku... aku tidak tahu kenapa, tapi... tapi hatiku hancur. Air mata terasa mendesak di bagian belakang mataku, dan dadaku terasa seperti runtuh ke dalam dirinya sendiri, seperti bintang yang menghembuskan napas terakhirnya sebelum hancur menjadi lubang hitam.
Dan kemudian aku terbangun disini. Hampir tidak ingat namaku apalagi hal lain tentang diriku."
***
***
KAMU SEDANG MEMBACA
'Till I Die [TAMAT]
Mystery / ThrillerThriller|| Dewasa|| Sadis BLURB: Ace Maddox adalah seorang pembunuh. Itu adalah kenyataan. Dingin dan haus darah, ia tidak pernah mengira akan kemungkinan cinta, atau berpikir bahwa ada seorang wanita di luar sana yang bisa memahami atau menerima di...