15. Not Enough

149 24 42
                                    

EMILIA POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

EMILIA POV

🤍

Aku tidak bisa bicara, bukan karena tidak tahu harus mengatakan apa, tapi karena tidak tahu harus mulai dari mana.

Apa yang diceritakan Ace tentang masa lalunya membuat hatiku hancur berkeping-keping.

Aku menjulurkan tanganku untuk meraih wajahnya, tapi sebelum aku berhasil Ace dengan hati-hati menyingkirkan tanganku.

"Jangan merasa kasihan," pria itu berkata. "Paham?"

"Bagaimana bisa kau mengatakan itu?" Aku menatap dalam ke matanya yang kosong, sementara mataku penuh dengan kepedihan. "Ace—"

"Tidak," katanya tegas, lalu berdiri, meninggalkanku di lantai. "Kau harus mengerti, Emilia, bicara tentang masa lalu ini tidak menyakitiku. Aku tidak menangis sebelum tidur memikirkan masa kecilku. Kenangan itu tidak membuatku merasa terluka atau sedih. Kenangan ini melakukan sesuatu yang lain padaku. Mereka membawaku ke tempat yang jauh lebih gelap. Tempat yang tidak layak untuk mendapatkan rasa kasihan."

Mata indahnya Ace menatapku dengan kegelapan yang mengerikan sebelum melanjutkan, "Aku tidak pantas mendapatkan rasa kasihanmu, dan aku juga tidak menginginkannya."

Ace kembali memalingkan wajahnya dariku.

Aku berdiri dari lantai. Rantai di pergelangan kakiku berderak menggesek lantai saat aku mendekatinya.

"Apakah pria itu pernah menaruhmu di kursi itu?" tanyaku pelan dari belakangnya sekarang, karena punggungnya menghadapku. "Apakah ia melakukan apa yang dilakukannya pada anak itu?"

Bahunya bergerak naik turun dengan napas berat dan hening.

Pria itu kemudian berbalik menghadapku. Badannya yang tinggi dan garis wajahnya yang tampan seperti biasa membuat jantungku berdebar dan perutku mengerat. Terutama saat pria itu menatapku seperti itu, seolah ia lapar akan sesuatu.

Aku sadar bahwa itu adalah kegelapan di dalam dirinya. Bagian dari dirinya yang mengambil alih dan memaksanya untuk mengendalikanku, melumatku dengan cara-cara yang, meskipun aku tak pernah merasakannya, aku tahu tak ada pria lain yang pernah melakukannya.

"Tidak," jawabnya. "Ia tidak pernah melakukan hal itu padaku. Tapi banyak anak laki-laki lain yang mengalaminya."

Pria itu memalingkan wajah. Lengannya yang kokoh dan didefinisikan oleh otot-otot keras, menyilang di dadanya yang telanjang.

"Meski demikian," ia melanjutkan. "Bukan berarti aku beruntung. Hal-hal lain dilakukan padaku. Jujur, aku lebih memilih gigiku dicabut daripada apa yang mereka lakukan padaku."

"Apa memangnya yang mereka lakukan padamu?" Dadaku terasa sesak hanya memikirkannya. Aku melangkah sedikit lebih dekat, berhati-hati agar tidak bergerak terlalu cepat karena aku tidak yakin dengan suasana hatinya.

'Till I Die [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang