ACE POV
♠
Sepuluh menit kemudian, kami tiba di rumahku.
Gwen ngoceh sepanjang perjalanan. Kemungkinan besar karena gugup setelah menerima tawaran untuk pergi bersama pria yang baru dikenalnya. Entahlah, aku tidak peduli apa yang wanita itu katakan atau pikirkan. Aku hanya membawanya kemari untuk satu tujuan, dan itu bukan untuk berbasa basi.
"Wow, rumah ini bagus sekali," ia berkata saat melangkah masuk. "Dari luar rumah ini terlihat seperti rumah tua, tapi aku tidak menyangka bagian dalamnya akan terlihat semewah dan semodern ini."
Wanita itu melirik ke arahku dengan mata yang kilauan saat aku melepas mantelnya dari belakang.
Aku tak merespons basa-basinya. Semua ini sudah mulai terasa seperti awal dari suatu hubungan —bahkan jika wanita itu hanya penasaran dengan rumahku– dan aku tidak berniat menjawabnya.
"Bukan berarti luarnya jelek, maksudku," ia melanjutkan mungkin mengira diamnya aku adalah karena tersinggung oleh komentarnya. "Aku hanya– well... maksudku... ini sangat berbeda." Ia tersenyum.
Aku mulai merasa kesal oleh banyaknya ia berceloteh. Demi Tuhan, aku hanya berharap ia bisa berhenti bicara.
Aku memang memilih rumah yang tidak mencolok agar tidak menarik perhatian. Jadi, aku memilih rumah dari batu bata tua dan mendesain ulang bagian dalamnya agar sesuai dengan gaya hidupku. Tapi yang membuatku tertarik untuk membeli rumah ini adalah basementnya yang luas. Aku ingin Emilia merasa nyaman di rumahku... semanyaman dalam kondisi terkurung. Tapi Gwen tidak butuh tahu itu.
Aku melepas mantel dan jasku dan mulai membuka kancing kemeja. Gwen menatapku dengan pandangan penuh hasrat dan sedikit kekhawatiran, yang belum hilang sejak pertama aku bertemu dengannya.
"Uhm... Omong-omong, sudah berapa lama kau tinggal di sini?" wanita itu kembali bertanya.
Jesus... Shut. the. fuck. up.
"Lepaskan sepatumu," kataku sebagai gantinya, sekadar untuk menghentikan obrolan yang tak ada gunanya.
"Hah?"
Aku memiringkan kepala sedikit ke satu sisi.
"Aku bilang lepaskan sepatumu." Ekspresiku tetap tak berubah.
Mata Gwen sedikit melebar. Wanita itu menggigit bibir bawahnya lagi sementara aku melepas bajuku dan meletakkannya di punggung kursi kulit terdekat.
Akhirnya, untuk mengurangi ketakutannya dan memulai malam ini, aku mendekat ke arah mulutnya dan berkata, "Dengar, aku tidak akan memaksamu untuk berada di sini"—aku menyentuh bibirnya dan menyelipkan tanganku ke bawah rok. Wanita itu terengah—"tapi jika kau ingin di sini, kau akan melakukan apa pun yang aku perintahkan, tanpa aku perlu mengulang lagi. Paham?"
Jari tengahku menekan di antara pahanya yang terbungkus celana dalamnya yang basah.
Suara desahan kecil bergetar dari bibirnya ke mulutku saat aku menyelipkan lidahku ke dalam mulutnya. Menghirup dalam-dalam, aku menciumnya dengan kebuasan yang meluap, dan ketika aku menarik diri, butuh sedikit lebih lama baginya untuk membuka matanya lagi.
"Sekarang, lepaskan sepatumu," aku mengulang.
Kali ini, Gwen menurut tanpa ragu. Mulutnya yang tertutup itu melengkung ke atas dengan menggoda saat ia menunggu perintah berikutnya.
Aku mengeratkan rahangku.
Ck. Terlalu mudah.
Meski aku adalah pria dominan tapi bukan berarti aku menyukai wanita yang terlalu submissive. Aku suka wanita yang agresif, yang menentang dan memakiku jika aku kelewatan, seperti Skeeter. Aku ingin wanita yang memukul dan melawan. Aku ingin menaklukkannya dengan kekuatan dan kekerasan. Itulah jenis seks yang aku selalu aku butuhkan, tapi aku tahu bahwa aku tidak akan bisa dapatkannya dari Gwen, hanya Skeeter lah yang bisa memberikannya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
'Till I Die [TAMAT]
Misteri / ThrillerThriller|| Dewasa|| Sadis BLURB: Ace Maddox adalah seorang pembunuh. Itu adalah kenyataan. Dingin dan haus darah, ia tidak pernah mengira akan kemungkinan cinta, atau berpikir bahwa ada seorang wanita di luar sana yang bisa memahami atau menerima di...