31. Fragments

91 19 39
                                    

ACE POV

Menghindari udara dingin dan trotoar yang mulai ramai, kami menemukan bangku di sebuah taman yang ada di dekat sana.

Sepi dan tersembunyi di antara rimbunnya semak, Rohan meletakkan kembali backpack-nya ke bangku dan duduk di sebelahku.

"Kenapa kau terus menatapku seperti itu?" tanyaku, melihat mata Rohan yang terlihat sedih dan penuh dengan rasa kasihan.

Aku tidak akan menerima rasa kasihan. Rohan pasti tahu itu.

Rohan menggeleng. "Aku hanya– aku tahu seberapa dalam cintamu pada istrimu, man," ia berkata dengan suara pelan. "Maksudku, kau tidak pernah menceritakan apa-apa padaku, tapi setahun terakhir aku juga tidak pernah melihatmu membicarakan bahkan mendekati perempuan lain. Aku tahu cukup untuk paham bahwa semua ini pasti sulit bagimu. Aku... aku tak bisa membayangkan bagaimana ini bahkan mungkin terjadi?"

Aku menunduk, menatap tanganku.

"Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu," jawabku dengan nada putus asa. "Aku baru mulai menyatukan semuanya tadi malam." Sekilas, aku melirik Rohan yang duduk di sebelah kiriku. "Sebelum Emilia mengingat masa lalunya—atau setidaknya, apa yang ia yakini sebagai masa lalunya, aku masih berharap bahwa wanita itu berpura-pura dan Emilia tidak nyata. Aku benar-benar kehilangan arah, Rohan. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku bahkan tak yakin dengan apa yang sedang kukatakan sekarang. Percayalah, aku sama bingungnya dengan semua ini seperti dirimu."

Pandanganku kembali jatuh ke tanganku yang tergantung di antara kedua kakiku yang terbuka. Dengan siku bertumpu di atas paha, aku memainkan cincin tebal bertekstur hitam di ujung jariku dengan gelisah, mengingat ukiran di bagian dalamnya yang bertuliskan: 'Till I Die. Cincin pernikahan kami. Skeeter memiliki satu yang kini kusimpan dalam kotak perhiasanku di rumah, di mana aku berniat mengembalikan padanya ketika ia kembali.

"Apa sebenarnya yang terjadi pada malam ketika istrimu membakar rumahmu, Ace?" Rohan bertanya.

Ragu-ragu, aku memandang keluar sekelilingku, mencari tanda-tanda ada orang lain yang mungkin ada di sekitarku. Ketika aku yakin tidak ada orang yang bisa mendengar percakapan kami, aku melanjutkan...

***

~Flashback~

Malam kejadian itu, aku terbangun dalam kilauan mobil pemadam kebakaran dan ambulance menyinari wajahku.

Lapisan abu berwarna keperakan jatuh di sekeliling tubuhku yang ternoda hitam oleh jelaga. Aku menatap langit dengan pandangan menyipit. Salju turun berbarengan dengan serpihan abu-abu yang berasal dari rumahku yang terbakar.

Dari sudut pandangku, aku melihat kerumunan orang menonton. Disusul dengan wajah-wajah mengerumuni pandanganku.

Aku mendorong orang-orang itu untuk mencoba bangkit, tapi hanya berhasil terguling ke samping.

Rumput kering menusuk pipiku. Kepulan asap putih terlihat dari napas hangat yang keluar dari mulutku.

Aku kedinginan, tapi sekaligus merasa hangat. Sungguh aneh.

Di depanku, lapisan tipis asap masih terlihat dari bekas tumpukan kayu dan arang yang berasal dari apa yang tersisa dari rumahku. Wanita itu meninggalkanku di sana untuk terbakar. Jadi bagaimana ia bisa keluar?

Saat aku akhirnya berhasil duduk, aku merasakan rasa sakit di belakang kepalaku dan sadar bahwa Skeeter pasti menyeret tubuhku keluar sebelum meninggalkanku di halaman.

Seluruh tubuhku terasa sakit. Tapi aku masih hidup. Aku mencoba untuk berdiri dan beberapa petugas medis membantuku dengan menopang lenganku.

Aku menoleh ke sekelilingku berusaha untuk mencari. Aku melihat orang-orang berdiri di trotoar, menyaksikan dan menunjuk-nunjuk, semua terbungkus jubah tidur, mantel tebal, dan syal yang dililit sembarangan di leher mereka.

'Till I Die [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang