16. Pieces of A Puzzle

114 23 25
                                    

EMILIA POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

EMILIA POV

🤍

Greta mengambil piring makan malamku yang kosong dan meletakkannya di anak tangga beton paling bawah.

Kuakui, selain juru masak yang hebat, Greta adalah wanita luar biasa yang telah memperlakukan aku dengan baik sejak Ace memperkenalkan kami. Kadang aku merasa bahwa ia lebih khawatir tentang diriku daripada aku khawatir tentang diriku sendiri.

"Apakah kau mau makanan penutup, dear?" wanita itu bertanya dengan suara lembut keibuannya. "Ada semangkuk es buah di kulkas di atas, jika kau mau. Aku membuatnya seperti yang kau sukai, dengan sedikit madu dan air kelapa."

Aku berbaring di ranjang dengan posisi miring, tangan terselip di antara lutut. Bantal bulu angsa yang lembut menempel di pipiku. Rantai di pergelangan kakiku menggantung di tepi ranjang.

Aku tersenyum pada Greta. "Tidak, terima kasih. Aku sudah kenyang."

Wanita itu mendekat dengan tatapan keibuan yang selalu ia berikan saat ingin aku terbuka padanya.

"Baiklah kalau begitu," Greta menjawab.

Ranjang bergerak pelan saat wanita itu duduk di sampingku dan meraih selimut favoritku yang berwarna biru dan putih dari ujung ranjang. Perlahan, wanita itu menyelimuti kakiku yang terbuka sebelum menepuk ringan pinggulku.

"Aku tidak memberi tahu Ace," aku berkata hampir berbisik.

"Kau tidak memberi tahu apa, dear?" Suaranya yang lembut bertanya balik.

Menatap lurus ke depan, aku membiarkan kenangan itu melintas di mataku sebelum akhirnya memberitahu Greta.

"Bahwa aku ingat aku suka lagu lawas," aku berkata dan tiba-tiba wajahku berubah menjadi hangat semakin aku membayangkan potongan-potongan dari kehidupan lamaku. "Andy Williams, Elvis, Chuck Berry, Neil Sedaka, Skeeter Davis. Sungguh sebuah kebetulan yang tidak menguntungkan bagiku mengetahui istri Ace memiliki nama yang sama dengan penyanyi favoritku."

Aku tertawa pelan.

"Aku ingat bahwa dulu teman sekolahku suka mengejekku karena hal ini. Salah satunya yang tinggal di seberang jalan dari rumahku –Lanie namanya kalau tidak salah– ia mengira aku anak aneh karena menyukai lagu-lagu lawas."

Aku mengubah posisi kepala agar bisa melihat Greta di sampingku.

Senyum cerah menguraikan garis-garis dalam di sekitar mulut dan kerutan di sudut matanya. Wanita itu menepuk pinggulku lagi.

"Kau tidak aneh, dear," katanya dengan senyum lebar. "Aku juga menyukai lagu-lagu lawas. Apakah kau ingat apa yang membuatmu menyukai lagu-lagu itu?"

Tatapanku jatuh ke depan lagi. "Tidak, aku tidak ingat sejauh itu. Tapi aku yakin ini adalah ingatan yang penting. Seakan aku tidak hanya suka lagu-lagu itu, tapi aku...," —aku tersipu di dalam hati saat memikirkannya— "aku merasa pernah bermimpi untuk menyanyikannya di atas panggung. Seperti sebuah cita-cita. Entahlah. Aku pasti terdengar konyol."

'Till I Die [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang