32

1.2K 154 7
                                    

Stefania menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua anaknya saat tidur. Kaki Zio yang berada di atas kepala Ichan, sedangkan tubuh Ichan hampir menyentuh lantai.

"Hey, bangun kesayangannya bunda... udah mau malam tau, gak mau bangun nih?" Stefania mengguncang pelan tubuh Zio dan Ichan.

"Emmm!" Ichan merenggangkan tubuhnya, untung saja tubuh Ichan tidak terjatuh jika tidak di tahan oleh Stefania.

"Undaa~ maci antuk ung? tata na uga agi tidull hoaam"

"Ini bunda mau bangunin kakak." Stefania kembali mengguncang tubuh Zio agar bangun. Zio sungguh sulit di bangunkan.

"Sayang ayo bangun."

"Emm..." Zio meregangkan tubuhnya, ia duduk dengan mulut terbuka. Stefania menggelengkan kepalanya, ia menyesal membuang anak kandungnya yang ternyata seimut itu.

"Bangun terus mandi, nanti bunda siapin bajunya," Stefania mencium pipi kedua anaknya, lalu pergi ke dapur untuk memasak makan malam, di bantu para maid.

"Tata naa ayuuk andi bayeng... ada ebek na."

Zio hanya mengangguk dan mengikuti Ichan dengan mata yang masih mengantuk. Jujurly, jika terbangun dari tidur di sore hari, sangat malas untuk melakukan sesuatu.

Zio dan Ichan pun mandi bersama, setelah itu mereka memakai pakaian yang sudah si siapkan oleh Stefania. Wajah Ichan dan Zio di penuhi dengan bedak, hingga membuat mereka semakin menggemaskan.

Setelah semuanya selesai, mereka pun turun untuk makan malam bersama. Di lantai bawah, Zio bertepatan dengan Aditama yang barusaja kelurar dari ruangan.

"Eh kakak! Kakak tinggal sini?"

Ayolah, pertanyaan yang tidak perlu di tanyakan. Dia memang tinggal di rumah bunda dan ayahnya, ketimbang abinya, ayah kandungnya.

"Mukanya tuh cemong cemong." Tunjuknya pada wajah Zio.

"Hehe, tadi main bedak sama Ican."

"dede Zio panggil aku mamas aja ya?" Aditama menatap penuh harapan pada Zio, namun tidak terlihat.

"Oke deh mamas aja." Ucap Zio membuat Aditama tersenyum tipis.

"Ya udah, yuk makan bareng... udah di tungguin."

Mereka berdua berjalan menuju meja makan. Sebelum memulai acara makan malam mereka, Arlo memperkenalkan dirinya dan begitu juga Darel.

Jika ditanya dimana istri Arlo, istri Arlo sudah berbeda alam akibat penyakit yang dideritanya.

Setelah beberapa candaan, mereka akhirnya memulai makan malam dalam diam. Tak ada yang berbicara, kecuali Ichan yang meminta ini dan itu.

***

Keith baru saja sampai di bandara dan langsung menuju mansion Bernadi. Tatapannya tajam, membuat orang yang melihatnya seolah-olah akan di bunuh. Mereka tak ada yang berani  mendekati Keith saat ini, mengurungkan niat mereka untuk foto bersama Keith.

Begitu juga sopir, ia ketar ketir ketika Keith terus memperhatikannya di sepanjang jalan. Jika tidak sampai tujuan, habis lah dia. Bagaimana dengan istri dan anaknya nanti—sudahlah.

Beberapa saat kemudian, Keith sudah sampai di depan gerbang mansion Bernadi. Terlihat penjaga yang membuka gerbang untuk mereka.

Jam masih menunjukan pukul 20.33, sudah di pastikan Zio belum tidur di jam segitu. Keith akan langsung membawa Zio pergi dari mansion Bernadi setelah mendengar penjelasan dari mereka.

Keith turun dari mobil ketika mobil sudah berhenti. Tanpa menunggu lama, ia langsung memasuki mansion Bernadi tanpa mengucapkan permisi terlebih dahulu.

"Wah, siapa ini yang datang tanpa mengucapkan permisi dulu? Ck ck ck, sangat tidak sopan." Ucap Arlo yang duduk di sofa single tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

"Dimana putraku!"

"Santai tuan Keith, sepertinya kita harus berbagi." Ucap Arlo, kemudian ia meletakan laptopnya di atas meja.

"Apa maksudmu, Arlo. Katakan saja di mana putraku!" Sungguh, Keith saat ini kehilangan kesabarannya.

"Ayolah duduk terlebih dahulu, aku ingin memberitahumu sesuatu."

Mau tak mau Keith menuruti keinginan Arlo. Ini demi bertemu putranya. Tak lama dari itu, Rafael datang dan duduk di sofa panjang.

"Jelaskan apa maksud kalian menculik putraku, ada banyak anak di luar sana, kenapa tidak menculik mereka saja?" Ucap Keith menahan amarahnya, sebenarnya ia tak mau basa basi.

"Sebenarnya, kami—tidak, hanya keluargaku tertarik pada Ezio Maximilian. Ia menggemaskan dan mengingatkan ku pada istri ku, aku berencana ingin menculiknya... namun..." Arlo menghentikan ucapannya, pandangannya beralih pada Rafael, membuat Keith menaikkan alisnya.

"Aku duluan yang menculik Zio sebelum kakakku, aku memberitahu istriku tentang ini dan memperlihatkan foto Zio yang di berikan oleh kakakku," Ucap Rafael melanjutkan ucapan Arlo.

"Stefania terkejut melihat wajah Zio yang begitu mirip dengannya. Kau pasti sudah tau latar belakangnya, namun kau tak tau dimana panti asuhan itu. Akhirnya kami menculiknya terlebih sebelum kakakku." Lanjutnya.

"Kenapa tidak langsung datang ke mansion ku untuk memberitahu bahwa Zio adalah anak kandung istrimu? Kenapa harus menculiknya?" Ucapan Keith membuat Rafael terdiam.

Benar apa yang dikatakan oleh Keith, seharusnya ia datang ke mansion Maximilian. Akalnya memang pendek.

"Hah, maafkan aku tentang itu." Ujar Rafael.

"Sudah! Dimana dia?! Aku akan membawanya pulang!" Keith berdiri dan akan mencari Zio, namun di hentikan oleh Arlo.

"Kau tidak mempunyai hati ya? Stefania baru saja bertemu dengan anaknya dan kau datang lalu mengambil Zio begitu saja? Tidak kah kau kasihan pada Stefania?" Ujar Arlo dengan tatapannya yang tajam.

"Kau tahu saya tuan Arlo, saya memang tidak memiliki hati untuk mengasihani istri tuan Rafael yang sudah membuang anaknya sendiri dan sekarang? Dia menginginkannya kembali? Bukan kah itu sudah terlambat?"

Ucapan Keith membuat Stefania yang berada di tangga merasakan sakit di hatinya. Dadanya terasa sesak. Benar, seharusnya ia tidak membuang bayinya.

Stefania turun ke dari tangga dan mendekati tiga pria tersebut. Ia harus menahan tangisnya untuk ini.

"Tuan Keith, sebelumnya maafkan kami karena menculik Zio. Tapi bisakah sehari saja aku bersama de—"

"Tidak!"

Stefania merasakan dadanya yang terasa sesak, tidak bisakah ia bersama dengan anaknya sehari saja. Ia menyesal telah membuang bayinya dulu, sangat menyesal.

Semuanya terdiam, mereka tidak mampu mengeluarkan kata kata. Lagipula yang dikatakan Keith semuanya harus dilakukan sebelum bertindak.

Mereka terlalu impulsif dan terlalu terburu buru hanya untuk bertemu dengan Zio. Mereka tidak bisa melakukan apapun, menahan Zio di mansion mereka pun tidak bisa. Hak asuh Zio berada di tangan keluarga Maximilian.

"Daddy!!" Pekik Zio dan langsung memeluk tubuh besar Keith. "Daddy lama banget jemput na."

Seketika raut wajah Keith melembut ketika Zio memeluk tubuhnya. "Maaf ya sayang, di jalan macet."

"Ayo pulang, daddy~" rengek Zio pada Keith.

Keith mengangguk, ia menggenggam tangan Zio dan pergi dari sana tanpa berpamitan. Sedangkan Zio melambaikan tangannya pada mereka.

Stefania menatap sendu Zio yang perlahan menghilang di balik tembok dengan Keith. Ia ingin memeluk Zio kembali, tangisnya tidak bisa ia tahan.

Rafael memeluk tubuh istrinya. "Tidak apa apa, nanti mas akan membicarakan lebih lanjut dengan keluarga Maximilian untuk membuat kesepakatan agar kamu bisa bertemu dengan Zio."

Stefania hanya mengangguk, ia ragu, tapi apakah suaminya akan bisa melakukan kesepakatan seperti itu? Kemungkinan win—lose.

Baby Zio  [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang