Udara terasa sejuk dan langit bersih tanpa awan. Hinata tampak sibuk menjemur pakaian di tempat mencuci dekat taman belakang—membantu beberapa pelayan meski sebelumnya sempat ditolak. Tangannya cekatan, membentangkan kain dan menggantungnya di tali jemuran yang memanjang.
Cahaya matahari pagi menyinari wajahnya yang serius, memberikan kilauan lembut di antara helaian rambut biru gelapnya yang berayun tiap kali tertiup angin.
"..."
Di balkon lantai atas, Naruto duduk dengan santai, pandangannya tidak teralihkan dari Hinata di bawah sana.
Wajahnya tenang, tapi matanya mengamati setiap gerak-gerik Hinata dengan tajam, seperti elang yang memperhatikan mangsanya. Tepat di depannya, Neji berdiri tegak dengan hormat, siap melapor.
"Sebenarnya, kenapa shogun tiba-tiba memanggilku?" Naruto bertanya dengan nada datar, tanpa melepaskan pandangannya dari Hinata.
Neji sedikit ragu sebelum menjawab, "Dari yang saya dengar, shogun ingin mengundang semua daimyo yang berpengaruh pada pertemuan itu. Tampaknya beliau ingin membahas stabilitas kekuasaan di negara ini. Itachi juga diperkirakan akan hadir."
Naruto mengangkat alis, menahan tawanya. "Jadi, dia benar-benar berpikir mengumpulkan para daimyo ini akan membuatnya aman? Hah, shogun dan rasa takutnya. Dia ingin terlihat seolah-olah sedang menyatukan kekuatan, tapi yang sebenarnya dia lakukan hanyalah menjaga tahtanya tetap aman."
Naruto menggoyangkan kakinya sedikit, seolah meremehkan. "Apakah shogun merasa cemas dengan kemajuan kita semua?"
Neji mengangguk. "Luas wilayah kekuasaan yang daimyo miliki bertambah pesat. Dan shogun ... dia tahu, semakin luas wilayah yang kau kendalikan, semakin besar kekuatan militer yang bisa kau kumpulkan. Itu ancaman bagi kedudukannya."
Naruto tersenyum sinis, "Dia tahu aku bukan orang yang mudah diatur. Julukan 'Kilat Biru yang tak terkendali' itu pasti membuatnya gelisah di malam hari."
Senyum Naruto melebar, lalu dia kembali melirik ke arah Hinata yang masih sibuk dengan jemurannya, tak sadar bahwa ia sedang diamati.
Ekspresi Naruto berubah dingin, matanya menyipit seolah melihat lebih dalam, lebih tajam.
"Kapan pertemuan itu?" tanyanya dengan nada suara yang berubah serius.
"Besok malam, Tuanku." Jawab Neji tanpa ragu.
Naruto diam sejenak, membiarkan kata-kata sang ajudan mengendap dalam pikirannya. Ada bayangan Itachi yang muncul di pikirannya saat ini, dan ... di sana pula muncul ide bahwa pertemuan ini akan menjadi kesempatan langka.
"Kuharap Itachi akan datang," ujar Naruto dengan nada rendah, tetapi ada ketegasan dalam kata-katanya. "Aku ingin dia melihat sendiri. Bahwa Hinata adalah milikku. Bahwa dia berada di bawah kekuasaanku."
Neji mengangguk perlahan, memahami apa yang tersirat dalam kata-kata Naruto. Di bawah permukaan kata-kata yang tenang itu, ada ambisi yang mengintimidasi—hasrat untuk menunjukkan kekuasaannya pada siapa pun yang berani mendekati wanitanya.
"Kalau begitu, saya akan mempersiapkan segala sesuatunya untuk keberangkatan besok, Tuan." Kata Neji, masih dengan nada hormat.
Naruto mengangguk, pandangannya tak berpaling sama sekali dari Hinata. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang penuh makna, "Ya, persiapkan semuanya. Besok, aku ingin dia tahu sedang bermain-main dengan siapa."
.
.
Esok harinya, rombongan Naruto bersiap meninggalkan kastel, membawa panji-panji yang berkibar dengan lambang keluarga Uzumaki di atasnya. Barisan itu dipimpin oleh Neji yang menunggangi kuda hitam gagah, melangkah dengan tegap dan penuh kewibawaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUNG MASTER
FanfictionSetelah perang terjadi, konflik yang lebih besar melebar di seluruh wilayah. Para Daimyo saling melakukan ekspansi, dan Kaisar tidak lagi memiliki kekuatan mutlak. 10 tahun berlalu, Hinata dipanggil kembali ke Kastel Uzumaki untuk mengobati sang tua...