Bab 29

441 77 15
                                    

Matahari yang mulai condong ke barat memancarkan sinar keemasan, menciptakan bayangan panjang di lorong-lorong dan halaman kastel.

Di sebuah aula yang penuh kesibukan, Neji berdiri di depan meja panjang, di mana gulungan kertas besar terbentang, menunjukkan peta wilayah dengan tanda-tanda yang telah dibuat menggunakan tinta hitam. Beberapa pion kayu kecil tersusun di atasnya, masing-masing melambangkan pasukan dan formasi serangan.

"Prajurit garis depan akan bergerak dari jalur timur," gumam Neji, memindahkan salah satu pion dengan ujung jarinya. Dua prajurit di dekatnya memperhatikan dengan cermat. 

Salah satu prajurit mencatat dengan tergesa-gesa di atas papan kayu kecil yang ia bawa.

"Tidak ada kata mundur selain perintah dari daimyo. Semua kebutuhan logistik dan obat sudah dikirim ke perbatasan. Ambil beberapa tabib laki-laki, dan beri pengawalan khusus."

"Baik, Komandan."

Neji meluruskan punggungnya, dan memandang ke luar jendela. Perang bukan hanya soal pedang dan keberanian, tetapi juga perencanaan yang baik.

Kastel Omi bergerak seperti roda besar yang rumit, semua bagian harus bekerja dengan sempurna agar pasukan bisa berangkat tanpa hambatan.

Di halaman, para prajurit tengah sibuk memuat karung beras, baju zirah, dan senjata ke atas gerobak.

Neji memainkan pion kayu di tangannya, seluruh persiapan telah final.

.

Sementara itu, di kamar utama kastel, Naruto duduk di lantai kayu yang dingin. Di hadapannya terbaring sebuah katana dengan sarung hitam berkilau. Pedang itu adalah warisan keluarganya—simbol kehormatan yang telah melalui berbagai medan pertempuran.

Cahaya matahari terlihat memantul di bilahnya, membuatnya tampak seperti serpihan perak. Dengan tangan terlatih, Naruto mengelap bilah pedang itu menggunakan selembar kain. Gerakannya lambat dan hati-hati, seolah-olah ia sedang membersihkan lebih dari sekadar debu; pikiran-pikiran yang memenuhi kepalanya turut ia tuntaskan. Setiap goresan pada logam itu memiliki cerita, dan besok, ia akan menambahkan cerita baru pada pedang ini.

"Tuan Muda ...."

Ketukan lembut di pintu mengalihkan atensinya. Naruto menoleh, alisnya terangkat sedikit.

Pintu geser itu terbuka pelan, menampakkan Hinata yang datang dengan nampan kayu berisi teko dan cangkir keramik.

Uap tipis mengepul dari minuman herbal di dalamnya, aromanya samar tercium, membawa kehangatan yang aneh di tengah siang hari yang dingin.

"Kakak?"

Hinata melangkah mendekat—meletakkan nampan yang ia bawa di atas meja kecil di dekat Naruto, "Saya membawa minuman hangat untuk Anda."

Naruto menatap Hinata sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke arah cangkir yang mulai diisi oleh Hinata. Suara cairan yang mengalir terdengar jelas di tengah keheningan.

"Apa persiapannya sudah selesai?" Hinata membuka pembicaraan sembari menyerahkan secangkir minuman herbal kepada Naruto.

 "Hampir, tapi Neji telah mengurus semuanya. Kakak mengkhawatirkanku?"

Hinata tersenyum kecil. Naruto mulai meneguk minuman itu perlahan. Rasa pahit menyentak lidahnya, membuat alisnya sedikit mengernyit. Ia berusaha menyembunyikan ekspresinya, menelan cairan itu tanpa banyak mengeluh.

"Apa itu enak?" Hinata bertanya, melihat gelagat sang daimyo yang mencoba terlihat biasa saja.

Naruto mengangguk cepat, senyumnya kaku, "Ah—y-ya... minuman Kakak yang terbaik!"

YOUNG MASTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang