Bab 8 (Crown Prince)

486 84 21
                                    

Istana Kekaisaran dikelilingi oleh batu tinggi dan parit. Dilindungi gerbang kayu raksasa dengan ukiran harimau, dan sepanjang jalan menuju gerbang utama terdapat taman bunga yang ditumbuhi beberapa jenis tanaman.

Di dalam sebuah ruangan, seorang pria mengenakan topi bambu dan hakama putih terlihat berdiri dengan tenang di hadapan Putra Mahkota.

Wajahnya tersembunyi di bawah bayang-bayang topinya, tetapi sorot matanya yang tajam tidak dapat disembunyikan. Dia ... membawa kabar yang mengejutkan.

"Nona Hinata tidak bekerja lagi sebagai tabib di istana. Dia kini berada di Kastel Omi, melayani Daimyo Naruto."

Putra mahkota terdiam sejenak, mata hijau mudanya menyipit saat dia mencerna informasi itu.

Hinata, tabib kesayangannya, tiba-tiba dipindahkan tanpa pemberitahuan? Pikiran Gaara berputar, mencoba memahami siapa yang berani membuat keputusan sepenting ini tanpa sepengetahuannya. Ia mendecih frustrasi.

"Siapa yang membuat keputusan ini?" tanyanya dengan nada dingin.

"Itu perintah langsung dari Kaisar, Yang Mulia." 

"Ayahanda?"

Sang informan mengangguk, sambil menundukkan kepalanya sedikit, ia melanjutkan jawabannya, "Beliau mengeluarkan izin itu tiga hari lalu."

Kata-kata itu jelas mengejutkan sang pangeran; ia merasa seolah-olah otoritasnya diinjak-injak.

Tak mau diam saja, pangeran bergegas menuju ruangan Kaisar. Namun, begitu tiba di depan pintu, dua prajurit penjaga segera menghentikannya.

"Maaf, Yang Mulia," kata salah satu prajurit sambil membungkuk hormat, "Kaisar sedang menerima tamu penting saat ini."

"Huh?" Pangeran menyipitkan mata,

"Tamu penting?" ocehnya dalam hati. Matanya dengan jengkel memerhatikan sepasang sepatu wanita yang tersusun rapi di luar ruangan Kaisar.

Dia mendecih, menyadari bahwa 'tamu penting' yang dimaksud prajurit itu tak lebih dari salah satu selir kaisar—istri kesekian ayahandanya.

"Jika Anda ingin bertemu, Anda bisa membuat janji terlebih dulu dengan Penasihat Agung."

Kening Gaara mengerut.

Merepotkan sekali. Bahkan untuk bertemu dengan ayahnya sendiri, ia harus mematuhi aturan-aturan bodoh itu.

Dengan nada frustrasi yang ditahan, Gaara berbalik pada ajudannya, "Jika Kaisar tak bisa diganggu, panggilkan Naruto, Daimyo Omi itu. Aku ingin penjelasan tentang keputusannya merekrut Hinata." Perintahnya.

Ajudannya tampak ragu, lalu berkata dengan hati-hati, "Ma-maaafkan saya, Yang Mulia. Tetapi, Tuan Naruto bukan pria yang mudah diajak bernegosiasi. Selain itu, Kaisar tampaknya tidak mempermasalahkan pemindahan Nona Hinata ...."

Namun, tatapan tajam sang pangeran membuat ajudannya seketika menunduk.

"Aku tidak peduli. Panggil Naruto sekarang!" Tegasnya. Tidak ada ruang untuk perdebatan dalam perintahnya, menunjukkan bahwa dia tidak akan berhenti sampai mendapat jawaban yang memuaskan.

.

.

Keesokan harinya di pagi yang tenang, sinar matahari menembus jendela besar ruangan tersebut, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu yang mengilap.

Dua gelas teh panas yang tersaji di atas meja rendah menjadi pemisah di antara dua orang yang bertemu. Asapnya yang hangat mengepul pelan, mengisi ruangan itu dengan aroma teh hijau yang menenangkan.

YOUNG MASTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang