Di atas ranjang, Naruto memandang tubuh Hinata yang terbaring di hadapannya, terikat dengan rapi, tanpa sehelai benang pun menutupi.
Pemuda itu menelusuri setiap lekuk wajah Hinata; dari helai rambut yang berantakan di sisi wajahnya, hingga semburat merah muda yang mewarnai pipinya.
Ada tanda kemerahan halus di sekujur tubuh gadis itu. Tali rami yang diikatkan dari leher ke dada; mengikat payudaranya yang berisi, lalu turun ke perut melewati celah sempit dan pantatnya, kemudian merentangkan kedua kakinya hingga terbuka lebar.
Dalam budaya lokal, praktik masokisme ini disebut sebagai shibari. Awalnya hal ini dipakai untuk mengikat para tahanan agar tak kabur, namun seiring berjalannya waktu, beberapa orang mulai menggunakannya untuk sesuatu yang lebih erotis.
"Tu-Tuan, saya mohon ...." Air mata Hinata mengalir tanpa bisa ia tahan, membasahi pipinya saat ia mencoba bicara dengan suara yang gemetar.
Tapi, seolah tak mendengar, Naruto mengabaikan permohonannya, dan jemarinya dengan sangat perlahan membelai wajah gadis itu.
"Kakak tahu 'kan ... aku bukan seseorang yang mudah percaya. Apalagi Kakak melakukannya lebih dari sekali."
"U-uhh ...."
Telunjuk yang digosokkan pada titik sensitifnya, membuat lebih banyak cairan madu keluar dari dalam lubang. Sensasi telunjuk yang tebal menekan dan memilin bagian itu, membuat tubuh Hinata seperti mau menggigil.
Naruto menggunakan dua jarinya untuk menjepit biji kacang yang halus, Hinata semakin ketakutan dengan perasaan aneh itu karena di dalam perunya semakin panas, dan rasa gelinya membuat ia menggerakkan pinggul pelan-pelan.
Naruto nyaris tertawa, melihat kakak yang paling ia cintai merespons sentuhannya dengan jujur. Di bibirnya dia selalu menolak, tetapi ketika kulit mereka saling terhubung, Hinata akan mendesah di bawahnya dengan sekujur kulit memerah.
"Jadi, bagaimana kalian bisa bertemu?"
Dua jari yang ditusukkan ke dalam mendorong lenguhannya keluar lebih intens. Tubuh Hinata bergetar, dan Naruto menambah satu jari lagi, sehingga itu terasa sangat penuh.
"Apa Kakak juga mengharapkan ini darinya?" tanya Naruto dalam nada suara rendah.
Hinata langsung menggeleng cepat, sama sekali dia tidak menginginkannya.
"Ti-tidak ... saya tidak memiliki pemikiran seperti itu—"
Naruto membungkam mulut Hinata dengan lumatan yang membuat bibir mereka saling membungkus satu sama lain.
Itu bukanlah ciuman lembut, melainkan sangat kasar dan penuh tuntutan. Ciumannya memaksa, tak memberi ruang bagi gadis itu untuk membalas atau menolak. Seolah, Naruto ingin menyampaikan rasa memiliki yang tak terbantahkan.
"Uhh—"
Rasa ceri yang manis menyebar di dalam mulut mereka, dan hidung keduanya saling bersentuhan.
Samar-samar, detak jantung Naruto berdegub kencang. Ada kehangatan yang menjalar di kulitnya, rasa yang sukar dijelaskan, seolah api kecil ikut berkobar dalam dirinya.
Pipi Naruto merona—untuk sesaat, sorot matanya yang tajam sedikit melunak, dan dengan kesadaran penuh, ia menggigit lidah Hinata, menariknya ke dalam mulutnya sebelum mengisapnya.
"U-umm—"
Lidah yang menyerbu di antara bibir ranumnya mengabsen gigi, menggaruk pipi bagian dalam, dan menjilati setiap sudut mulut si gadis yang kehilangan kekuatan.
Air liur menetes dari sela-sela bibir menyerupai nektar yang jatuh dari sekuntum bunga. Salivanya menetes, dan Naruto menyesap semua yang keluar.
"Kakak, diam-diam kau menjepit jariku dengan kuat. Kau menyukainya saat jariku di dalammu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUNG MASTER
FanfictionSetelah perang terjadi, konflik yang lebih besar melebar di seluruh wilayah. Para Daimyo saling melakukan ekspansi, dan Kaisar tidak lagi memiliki kekuatan mutlak. 10 tahun berlalu, Hinata dipanggil kembali ke Kastel Uzumaki untuk mengobati sang tua...