Bab 31

314 54 23
                                    

Tiga prajurit pilihan yang diutus oleh Shogun Hashirama langsung bergerak cepat saat melihat tubuh Naruto terjun dari tebing.

Tanpa ragu, mereka menuruni dinding curam yang dingin dan berlapis es, dengan tali yang diikat erat pada pinggang mereka. Di bawah sana, sungai yang biasanya mengalir deras kini berubah menjadi lapisan es kasar yang retak-retak, menciptakan pemandangan suram nan dingin.

Kabut tebal melayang rendah, menyelimuti dasar jurang seperti tirai abu-abu yang menghalangi pandangan. 

Ketika mereka akhirnya sampai di bawah, salah satu dari tiga prajurit itu berhenti sejenak, napasnya terlihat membentuk uap di udara dingin.

Ia menunjuk ke arah sosok pemuda yang terkapar di tengah lapisan es yang mulai retak di sekitarnya, "Itu dia!"

.

.

Istana Shogun,

Di dalam ruang pengobatan, para tabib bekerja dengan cepat. Mereka membersihkan luka di kepala Naruto, meracik ramuan herbal terbaik untuk mempercepat penyembuhannya, dan menjahit luka di dadanya dengan penuh kehati-hatian. Suara kain yang direndam air hangat, adukan ramuan, dan instruksi yang diberikan dengan tenang memenuhi udara.

Sementara di luar,  Hashirama berdiri di lorong depan ruang pengobatan, tangannya saling menggenggam erat di belakang punggungnya. Wajahnya yang biasa penuh wibawa tampak diliputi kekhawatiran. Mata cokelatnya menatap pintu yang tertutup rapat, seolah-olah ia mencoba menembus kayu itu dengan matanya. Ia berdoa dalam hati.

Anak itu mungkin tidak tahu jika ia berteman baik dengan ayahnya. Kenangan masa lalu antara mereka masih segar dalam benak Hashirama—hari-hari penuh rivalitas dan canda, diskusi serius tentang politik, dan sumpah untuk menjadi yang paling kuat.

Hashirama menghela napas panjang. Ia mengingat alasan mengapa beberapa waktu lalu sempat mengundang para daimyo ke istana. Perang itu harus dicegah, sebab jika Owari dan Omi tetap bertarung, maka Omi akan kalah.

Mungkin, Naruto memang kuat, tapi dia belum siap. Dia masih butuh waktu. Sepuluh tahun, atau bahkan lebih untuk benar-benar menjadi sosok yang bisa menghadapi musuh seperti Itachi.

.

"Kau tampak baik sekarang," suara bariton Hashirama disertai senyum kecil. Ia duduk di sebuah kursi di dekat jendela, menatap Naruto dengan sorot mata penuh perhatian.

"Di mana aku?"

Naruto mengerutkan alis—masih bingung dengan apa yang terjadi.

"Mengapa Shogun Hashirama ada di sini?" tanyanya dalam hati. Ia lalu mengangkat tangan untuk meraba dadanya yang diperban, luka-luka itu masih terasa menyengat.

Naruto kemudian menoleh ke sekeliling, matanya menyisir ruangan yang terasa asing—atap kayu yang kokoh, aroma herbal dari meja tabib, dan suara halus air di baskom dekat ranjangnya. Bukankah terakhir ia sedang berada di lembah kematian dan bertarung dengan Itachi?

"Mengapa aku bisa ada di sini?"

Hashirama melipat kedua tangannya di depan dada, ia mendesah. "Hnn ... itu cerita yang panjang," jawabnya dengan tenang, seolah tak ingin membebani pikiran Naruto yang baru saja siuman.

Namun, sebelum ia sempat menjelaskan lebih jauh, Naruto akhirnya menyadari sesuatu. Pupilnya melebar, ingatan pertarungannya dengan Itachi kembali menghantam kesadarannya.

"Pe-pertarungan itu—jika aku ada di sini ... apa yang terjadi dengan pertarungan itu?!"

Hashirama menghela napas berat, berjalan mendekati Naruto. "Ya, tentu saja ... kau kalah. Itachi telah mengambil alih Kastel Omi sekarang." jawabnya lugas.

YOUNG MASTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang