Dalam pencariannya, Naruto menjelajahi setiap sudut pasar gelap yang ia ketahui. Mulai dari tempat-tempat yang terang hingga yang paling gelap. Ia mendatangi rumah-rumah lelang dengan suara gemuruh para penawar yang memperebutkan barang-barang mewah, hingga manusia yang diperjualbelikan. Namun, tak ada tanda-tanda Hinata.
Dengan amarah yang terpendam, ia melangkah ke distrik lampu merah, memasuki rumah-rumah prostitusi. Aroma dupa bercampur alkohol memenuhi udara, sementara perempuan-perempuan dengan dandanan tebal mencoba menarik perhatiannya.
"Hinata!" Teriak Naruto, suaranya menggema di lorong. Beberapa pria yang tengah menikmati malam memandangnya cukup kesal, namun ia tak peduli.
"Tidak ada gadis seperti itu di sini, Daimyo ...." Jawab seorang pemilik rumah dengan penuh rasa takut, membungkuk rendah.
Naruto mendengus keras, matanya menyapu seisi ruangan. "Kalau aku tahu kau menyembunyikannya, aku akan membakar tempat ini sampai rata dengan tanah!"
Namun, ancaman itu hanya berakhir dengan keheningan. Hinata tetap tak ditemukan.
Ia melanjutkan pencariannya ke bar-bar kumuh, tempat para pedagang gelap dan preman berkumpul. Naruto memasuki satu bar dengan langkah cepat, mantel hitamnya berkibar diterpa angin dingin malam. Suasana yang semula ramai mendadak hening saat ia berdiri di tengah ruangan.
"Hei, kalian!" Ujarnya dingin. "Pernahkah kalian melihat seorang gadis dengan rambut panjang, mata putih seperti bulan, dan wajah yang lebih indah dari apapun yang pernah kalian lihat?"
Para pelanggan saling memandang dengan ekspresi takut dan bingung, hingga seorang pemuda mabuk berani menyahut. "Aku tidak tahu soal gadismu itu, tapi kenapa kau tidak tanya di tempat lelang saja? Mungkin dia sudah dijual ke luar kota."
Naruto menghampirinya, menarik kerah bajunya, dan menatap langsung ke matanya. "Jika kau berbohong, aku akan memastikan kau tak bisa bicara lagi seumur hidupmu."
Pemuda itu terdiam—mengernyitkan mata penuh kebibungan. Tak ada jawaban yang berarti darinya, dan Naruto meninggalkannya dengan geram, langkahnya berat dan penuh rasa frustrasi.
Setelah pencarian panjang yang tak membuahkan hasil, bersama Neji, Naruto akhirnya kembali ke kastel dengan wajah muram. Ia berdiri di aula besar, berbalik memandang Neji dengan wajah yang nyaris akan menangis.
"Hinata tidak ada di mana-mana," kata Naruto, suaranya rendah dan sedikit bergetar. "Ke mana dia bisa pergi! Sialan!" Tangan Naruto mengepal, lalu menghantam meja kayu di dekatnya, membuat suara retakan keras menggema.
Neji yang tahu emosi sang tuan sedang tidak baik, mendekat dengan hati-hati. Ia berniat memberi saran lain, yang mungkin dapat membuat pencarian perempuan itu menjadi lebih mudah.
"Tuanku, bagaimana jika kita memanggil seorang ahli sketsa untuk melukis wajah Nona Hinata? Saya bisa memberikan deskripsi yang detail."
Naruto terdiam sejenak, matanya penuh kebencian pada dirinya sendiri.
"Setelah itu?"
"Kita dapat menyebarkannya secara luas. Dengan sedikit imbalan, informasi yang didapat akan jauh lebih mudah."
Naruto yang tidak bisa memikirkan apa-apa lagi, hanya menganguk, mengiyakan.
.
Beberapa jam kemudian, seorang pelukis tua datang ke Kastel Uzumaki, membawa peralatan menggambar sederhana.
Ia duduk di meja besar, sementara Neji berdiri di sisinya, memberikan deskripsi Hinata dengan suara yang tenang namun penuh kepastian.
Pelukis itu bekerja dengan penuh konsentrasi, setiap goresan kuas membawa lebih banyak kehidupan pada gambar yang mulai terbentuk di atas kertas. Naruto terlihat berdiri di dekat jendela, memunggungi mereka. Salju pertama musim dingin mulai turun di luar, melapisi dunia dengan putih yang dingin dan sunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUNG MASTER
FanfictionSetelah perang terjadi, konflik yang lebih besar melebar di seluruh wilayah. Para Daimyo saling melakukan ekspansi, dan Kaisar tidak lagi memiliki kekuatan mutlak. 10 tahun berlalu, Hinata dipanggil kembali ke Kastel Uzumaki untuk mengobati sang tua...