"Tuan Muda, ada jejak pengiriman beras yang kurang wajar dari lumbung penyimpanan ke desa-desa di sekitar. Ketika saya telusuri, semuanya mengarah pada Sakumo.
Dia menggunakan dalih bantuan masyarakat untuk menyembunyikan Nona Hinata dalam pengiriman barang."
.
.
.
Neji mengembus napas perlahan. Dia berdiri tegak di depan pintu, menikmati suara hujan yang samar-samar mengguyur atap bangunan.
Neji menanti dengan tenang, meskipun ketegangan terasa menusuk udara.
Di dalam, Naruto tengah berbicara dengan Sakumo, dan meski pintu itu ditutup rapat, ia tetap bisa tahu, jika setiap kata yang terucap di sana akan penuh dengan kemarahan.
.
Atmosfer di dalam ruangan terasa tegang, seperti seutas tali yang ditarik terlalu kencang—siap putus kapan saja.
Di tengah ruangan, Sakumo duduk santai di kursi kayu, sembari satu tangannya memegang cangkir teh, sementara satu mata yang tersisa menatap pria di depannya dengan sinis, senyumnya mengembang.
Naruto terlihat mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih. Dia nyaris tak percaya bila pria sialan ini adalah dalang di balik penculikan Hinata.
"Kau benar-benar berengsek, Sakumo," desis Naruto, mendekat. Tatapannya tajam bak sebuah belati. "Aku tak habis pikir, bisa-bisanya kau menculik orang yang paling berharga dalam hidupku. Kau tahu apa yang akan terjadi padamu setelah ini?!"
Alih-alih takut, Sakumo justru terlihat menantang, "Orang paling penting dalam hidupmu?"
Sakumo kemudian tertawa, "Kau membuatnya terdengar seperti itu masalahku. Bukankah kau yang memulai ini, Yang Mulia Tuan Daimyo? Kau merampas mataku, harga diriku, setelah semua pengabdianku padamu. Apa aku salah jika akhirnya aku memilih membalas dendam?"
Naruto menatap Sakumo dengan sorot yang penuh kemarahan. Napasnya berat seolah menahan diri untuk tidak langsung mencabut pedangnya.
"Balas dendam? Kau? Si keparat bodoh yang bahkan tidak bisa melakukan pekerjaan kecil. Kau pikir dengan menculik Hinata bisa menghapus kebodohanmu itu?"
Sakumo meletakkan cangkir tehnya. Berdiri perlahan, memperlihatkan senyum penuh ejekan yang sangat jelek.
"Mungkin tidak. Tapi aku menikmati setiap detiknya. Melihatmu marah seperti ini ... aah, itu sudah cukup bagiku."
"...?"
Tanpa aba-aba, Sakumo bertepuk tangan. Sebuah isyarat yang segera diikuti dengan pergerakan pintu di belakangnya.
Dua pelayan bertubuh besar masuk membawa seorang wanita dengan karung kain menutupi kepalanya. Tubuhnya diseret dengan kasar, hingga berada di tengah ruangan. Di sepanjang pergelangan tangannya tampak merah akibat bekas ikatan.
"...!"
Rahang Naruto kontan menegangkan saat itu. Matanya melebar melihat kondisi gadis gadis tersebut.
"Hi-Hinata?!"
Sakumo tertawa, kali ini lebih keras. "HAHAHA ... kau terlalu mudah dipermainkan, Naruto! Lihatlah dirimu, seperti anjing yang kehilangan tulang. Bukankah itu menyedihkan?"
Sakumo mendekati gadis itu. Dengan gerakan penuh kesombongan ia mengusap lembut bahunya, dan memiringkan kepalanya sedikit—seolah sedang memamerkan karyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUNG MASTER
FanfictionSetelah perang terjadi, konflik yang lebih besar melebar di seluruh wilayah. Para Daimyo saling melakukan ekspansi, dan Kaisar tidak lagi memiliki kekuatan mutlak. 10 tahun berlalu, Hinata dipanggil kembali ke Kastel Uzumaki untuk mengobati sang tua...