Ch 32

394 13 0
                                    

Arwen setengah sadar, setengah tidak. Obat penenang membuatnya sedikit “fly”. Akan tetapi, ia bisa mendengar suara Aragon mengatakann maaf kepadanya. Tidak lama sebelum akhirnya ia kembali tertidur lelap.

Rasa hangat menerpa wajah, membuat mata kemudian terbuka secara perlahan. Pening menyerbu begitu ia melihat jendela yang terang. Rupanya sinar matahari terang masuk menerangi kamar tidur besar mewah. Obat penenang yang efeknya sudah habis menjadikan ia mulai tersadar sepenuhnya.

“Aduuuh!” erang Arwen saat menggerakkan tubuh dan merasakan perih di bagian punggung, lutut, bahkan hingga kewanitaannya.

Napas terengah, mata terpicing, otak bekerja cepat untuk mengumpulkan informasi mengenai kenapa dia bisa berada di kamar Aragon dengan keadaan tubuh serba nyeri dan perih.

Semakin tersengal saat adegan ia ingin bunuh diri muncul di ingatan. Antara percaya dan tidak dengan apa yang terjadi kemarin. Sefrustasi itukah diri hingga nekat ingin meledakkan kepala sendiri?

“Apa aku sudah gila?” engah Arwen menggeleng lemah. “Tapi, dia memang benar-benar membuatku gila saat itu. Apa salahku?”

Langkah kaki terdengar memasuki ruangan. “Nona Arwen sudah sadar?”

Moreen datang membawa makanan. Melirik ke jam dinding dan terlihat ternyata sudah pukul dua siang.

Arwen menghela panjang, lirih, “Berapa lama aku tertidur?”

“16 jam lebih, Nona. Barusan Tuan Aragon menelepon untuk membangunkan Nona dan menyuapi makanan. Hampir 24 jam tubuh Nona tidak terisi makanan apa pun.”

Menggeleng, Arwen mendengkus lesu. “Aku tidak lapar. Berikan aku obat penghilang nyeri saja. Seluruh tubuhku sakit sekali,” rintihnya menahan isak.

“Kalau tidak makan dulu, nanti lambung Nona yang akan perih. Obat penghilang rasa sakit dari Dokter Marco memiliki dosis tinggi. Nona harus makan dulu. Saya suapi, ya?”

Arwen menatap Moreen dengan sedih. Matanya berkaca-kaca saat berkata, “Aku menyuapi Tuan Aragon setiap pagi selama hampir satu bulan ini. Kenapa dia masih menyiksaku?”

Dan jatuhlah bulir air mata itu ke pipi yang masih memiliki bekas luka memar serta lecet. Bahkan, luka akibat pisau Leona masih terlihat basah.

“Kenapa dia membiarkan Leona melukai wajahku? Apa salahku, Moreen? Apa yang tidak kulakukan dengan benar?” Arwen terisak hancur, memilukan.

Moreen menghela, “Nona tidak salah. Hanya saja, Tuan Aragon memang begitu gelap jiwanya. Sepertinya beliau kemarin tidak suka melihat ada lelaki lain mendekati dan menyentuh Nona meski hanya berteman.”

“Tuan Aragon paling tidak suka apa yang menjadi miliknya disentuh orang lain tanpa ijin. Dulu, ada seorang pengawal baru yang sembrono. Dia ketahuan duduk di dalam mobil antik beliau,” ungkap Moreen.

Arwen bersiap mendengar kelanjutan yang sudah bisa diperkirakan tak akan menyenangkan. Pasti akhirnya mengerikan. Dia tidak salah!

“Tuan Aragon menghajrnya habis-habisan hingga tulang rahang terbelah menjadi dua. Pengawal itu nyaris mati. Kami semua di sini digaji jauh lebih besar daripada pelayan di rumah mana pun. Tapi, kami juga harus berhati-hati,” pungkas Moreen.

Ia memandang kelu pada Arwen. “Saya kemarin ingin menolong Nona. Tapi, Baron mengingatkan agar jangan mencari mati. Maafkan saya yang tidak bisa berbuat apa-apa, Nona ….”

Arwen mengusap air mata, lalu tersenyum sendu. “It’s okay, Moreen. Adikmu benar. Jangan sampai kamu mati konyol hanya karena aku.” Lalu, ia merengkuh jemari Moreen. “Kamu sudah menjadi sahabat terbaikku selama ini. Terima kasih, ya?”

Moreen mengangguk dengan dua tetes air mata mengalir dari masing-masing netra. “Ayolah, Nona makan, ya? Saya harus menyuapi Nona supaya bisa segera minum obat. Setelahnya, biar saya membersihan tubuh Nona dan mengolesi salep luka.”

“Di mana Tuan Aragon?” tanya Arwen. “Dia bekerja?”

“Beliau ke luar negeri dengan Nona Leona. Tidak akan kembali sampai dua minggu ke depan. Kata Baron, mereka akan ke Amerika, Mexico, dan Brazil. Urusan bisnis.”

Arwen tersenyum tanpa bisa dicegah, “Aku akan terbebas darinya sampai dua minggu ke depan?”

“Sepertinya begitu, Nona,” angguk Arwen. “Nah, sekarang Nona makan, ya?”

Menghela panjang, Nona Constantine mengangguk. “Ya, baiklah. Aku akan makan. Uhm, Moreen ….”

“Ya, Nona?”

“Pernahkah kamu mendengar Tuan Aragon meminta maaf?”

Moreen terkejut, lalu menggeleng sambil tertawa kecil. “Kalau Tuan Aragon meminta maaf rasanya dunia sudah terbalik, Nona. Kita harus mengecek siapa tahu matahari terbit dari Barat?”

Arwen ikut tertawa, “Tidak mungkin, ya?”

“Tidak mungkin, Nona! Beliau adalah orang yang tak akan pernah mau mengakui salah. Kalau bertengkar dengan Nona Leona, meski beliau jelas, tak akan pernah ada kata maaf terucap dari bibirnya.”

Moreen masih terkikik, “Sepuluh tahun lebih saya ikut dengannya, tak pernah satu kali pun mendengarnya meminta maaf. Justru semua orang yang selalu meminta maaf karena takut disiksa atau dibunuh.”

“Kenapa begitu? Kenapa dia tidak pernah meminta maaf?”

“Karena harga diri Tuan Aragon lebih tinggi daripada galaksi. Mungkin kalau meminta maaf dianggapnya sebagai kelemahan. Lelaki sepertinya tak akan pernah mau meminta maaf walau salah sekalipun,” tegas Moreen sekali lagi. “Kenapa memangnya?”

Arwen menggaruk kepala perlahan, tampak ragu, tetapi akhirnya berbicara. “Uhm … sepertinya aku semalam mendengar dia meminta maaf.”

“HAAAH!” pekik Moreen membelalakkan mata. Betapa terkejut pelayan itu hingga nyaris tak percaya. “Apa Nona tidak salah dengar?”

Arwen mengendikkan bahu, “Aku tidak tahu. Mungkin aku bermimpi? Tapi, sepertinya sangat jelas suara beliau.”

“Maafkan aku, Little Girl. Begitu yang dia bilang padaku.”

Moreen masih terbelalak, “Nona, kalau sungguh beliau meminta maaf pada Nona, hanya ada satu jawabannya!”

“Apa? Apa jawabannya?” kekeh Arwen sembari mengunyah pasta yang disuapkan Moreen ke dalam bibir penuh lecet miliknya.

Moreen tersenyum simpul, tetapi juga terlihat khawatir. “Saya rasa Tuan Aragon kemarin mengamuk hebat karena dia cemburu, Nona.”

“Uhuk! Uhuk!” Arwen tersedak hingga terbatuk kencang. Moreen cepat memberinya air mineral untuk diminum.

Terengah-engah, Nona Constantine menggeleng, “Mana mungkin orang seperti Tuan Aragon cemburu? Aku meragukan kalau dia masih punya hati!” desisnya sedih.

Akan tetapi, pemikiran Moreen membuat Arwen membatin ulang. Pelayannya berkata, “Tuan Aragon masih punya hati, hanya saja selama ini sudah menjadi batu karena kerasnya dunia hitam yang dijalani. Dalam dunia ini, kalau tidak kejam, tidak akan ditakuti.”

“Saya rasa beliau sungguh cemburu, Nona. Beliau menyesal karena telah menyakiti Nona atas dasar cemburu. Itulah kenapa akhirnya beliau meminta maaf.”

Senyum gamang muncul di ujung bibir memar Arwen. “Aku tidak tahu, Moreen. Mungkin aku hanya salah dengar? Toh, aku tadi malam tidak ingat apa-apa. Aku hanya ingat Dokter Marco menyuntikkan sesuatu dan perlahan semua menjadi buram.”

“Iya, Nona memang diberi obat penenang dosis tinggi,” angguk Moreen.

“Anggap saja aku salah dengar. Karena kalau Tuan Aragon cemburu, berarti dia … jatuh cinta padaku? Apakah itu mungkin?”

BERSAMBUNG
BACA SELENGKAPNYA DI NIH BUAT JAJAN

The Mafia Dark LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang