Ucapan Leona membuat kening Aragon kian mengernyit. Lelaki yang hidup dengan kekerasan sejauh memori bisa mengenang ke belakang sontak merasa ada yang bergemuruh di dalam dada.
Pandangannya tajam menuju pada Arwen, lalu napas memburu bersama wajah yang merah padam. Dalam hati berdesis sendiri, ‘Apa dia benar merancang semua ini?’
Leona mengetahui perubahan pada sahabat masa kecilnya. Ia tersenyum dan semakin membisikkan kalimat-kalimat licik. “Apa kamu sudah memeriksa isi salep di dalam botol itu?”
“Baron sudah kusuruh memeriksanya. Tapi, kalau dia memang membuat sebuah rencana, siapa yang membantunya?” engah Aragon tak bisa mengalihkan pandang tajamnya dari sosok wanita mungil sedang di atas ranjang.
“Moreen?” seringai Leona.
Menggeleng, mafia bejat itu tak mau percaya begitu saja. “Moreen itu kakaknya Baron. Mereka sudah ikut denganku lebih dari 10 tahun. Dia tak akan mempertaruhkan semuanya hanya untuk membantu Arwen.”
“Hmm,” senyum Nona Mariachi mengendikkan bahu. “Mungkin bukan Moreen, tapi pasti ada yang membantunya jika memang dia merencanakan ini semua.”
“Sudah kukatakan padamu, sebaiknya kamu segera membunuhnya dengan kejam. Beri pelajaran pada keluarga Constantine dan seluruh orang yang ada di bawahmu. Kalau sampai ada kesalahan, keluarga mereka korbannya!”
Membunuh Arwen? Aragon membunuh Arwen?
Kenapa pria yang sangat ditakuti banyak orang itu merasa berat untuk melakukannya?
Akan tetapi, otak berputar terus. Tidak menampik apa yang dikatakan Leona adalah benar adanya. Kebimbangan yang tidak bisa ia enyahkan begitu saja.
“Pergilah dulu ke ruang kerjaku. Tunggu aku di sana dan kita bicara bisnis. Ada yang ingin kuurus sebentar!” desis Aragon tanpa satu lengkung senyum meski hanya setitik.
Leona mengulum senyum puas. Ia yakin setelah ini Arwen akan menerima kekejaman dari lelaki yang hanya menganggapnya sebagai adik. Padahal, yang ia inginkan adalah menjadi kekasih Aragon, bukan seorang adik.
“Oke …,” balas Leona, mengusap pundak serta lengan kekar, kemudian melangkah pergi. Namun, ia memberikan peringatan sekali lagi. “Jangan dibutakan oleh apa pun, terutama wanita.”
“Bukankah dulu itu yang ayahmu sering katakan kepadamu, Aragon? Aku yakin, kamu sadar untuk berbuat yang benar.”
Kalimat Leona menghentak. Aragon ingat dan membenarkan, memang ayahnya kerap berpesan seperti itu.
“Banyak wanita yang berbisa, siap menerkam dan menancapkan taringnya hingga berakhir dengan kamu kehilangan nyawa. Secantik apa pun, sebaik apa pun, jangan pernah biarkan mereka masuk dalam hidupmu terlalu dalam.”
Suara ayahnya yang sudah meninggal terngiang, memenuhi sisi kosong dalam benak. “Selalu sisakan ruang untuk ketidakpercayaan pada siapa pun. Hanya dengan begitu kamu bisa benar-benar melindungi dirimu sendiri, Nak.”
Sejak dulu, sejak masih kecil, ia selalu dipesan seperti itu hingga akhirnya tumbuh menjadi orang yang kejam. Membunuh atau dibunuh, berpirinsip seperti ini. Menyakiti, atau disakiti. Sebuah kepercayaan yang diyakini telah berhasil membawanya hingga ke titik sekarang.
Kaki tegap memasuki kamar, suara angker terdengar, “Tinggalkan kami berdua, Moreen!”
Pelayan itu terkejut. Aragon tidak seperti sebelum ini. Ia mengerti jika bosnya menahan amarah. Memandang sesaat pada Arwen, berpikir apa yang salah?
“Kamu tuli, Moreen? Aku bilang keluar!” bentak Aragon dengan suara yang lebih menggelegar.
“Maaf, Tuan!” takut Moreen tanpa berkata apa-apa lagi, segera berlari keluar dan menutup rapat pintu kamar.
Arwen menelan cairan di dalam mulutnya dengan ketakutan. Bentakan Aragon pada Moreen mempertegas kalau ada sesuatu yang tidak beres. Lelaki itu sedang marah, kenapa?
BERSAMBUNG
BACA SELENGKAPNYA DI NIH BUAT JAJAN
KAMU SEDANG MEMBACA
The Mafia Dark Lust
Romance"Naik ke atas meja dan buka kakimu dengan lebar!" Aragon Vincenzo memerintah seorang gadis yang nampak ketakutan. Adalah Arwen Constantine yang sekarang gemetaran menghadapi mafia paling bengis di seluruh dataran Italia. Ia terpaksa dijadikan budak...