Arwen bersuara lirih, “Apa saya bermimpi lagi? Tuan meminta maaf?”
Mata Aragon sontak terbelalak lebar dan ia terkejut bak dihajar ribuan peluru detik itu juga. Kenapa gadis 19 tahun ini ternyata masih sadar dan bisa mendengar ucapannya?
‘Fucking what? Shit! Fuck me! Kenapa dia bisa mendengarnya! Mau taruh di mana mukaku!’ jerit Aragon dalam hati. Ia sampai tidak bisa bersuara apa pun. Udara terbelokir di tenggorokan tanpa mampu keluar dari sana menjadi sebuah kalimat.
Arwen menggeliat. Di awal dia telungkup, sekarang mulai membalikkan badan dan duduk di sebelah sang lelaki berwajah dingin. Senyumnya merekah perlahan seiring suara lembut kembali bertanya. “Tuan meminta maaf?”
“Apa kamu gila? Kapan aku meminta maaf? Kamu sudah gila!” desis Aragon dengan senyum angkuh, menyangkal pertanyaan itu.
“Saya mendengarnya dengan telinga saya sendiri,” sahut Arwen menatap, ingin tertawa. “Saya sebenarnya sudah bangun sejak Tuan masuk kamar.”
Wajah Aragon merona merah karena malu. Akan tetapi, ia tetap tidak mau mengakuinya. “Kamu salah dengar! Aku tidak mengatakan apa-apa!” hentaknya.
“Untuk apa aku meminta maaf kepadamu, hah? Memangnya aku salah apa hingga harus meminta maaf?”
“Tapi, saya mendengarnya dengan jelas. Tuan meminta maaf kepada saya. Apakah Tuan menyesal dan merasa bersalah pada saya?” pancing Arwen dengan senyum polos dan menggemaskan.
Aragon makin kelimpungan, “Apa kamu gila hingga mengarang cerita? Aku tidak akan meminta maaf kepada siapa pun! Aku tidak pernah bersalah! Terutama kepadamu! Buat apa aku meminta maaf kepadamu!”
“Yah, siapa tahu Tuan bersalah karena sudah menyiksa saya. Padahal, saya tidak bersalah apa pun. Apa Tuan tidak kasihan kepada saya?” tanggap Arwen menatap dengan mata bundarnya yang berwarna biru indah.
Gadis itu terus tersenyum sambil menahan rasa yang menggelitik di dada dan juga perut. Kenapa kenyataan bahwa Aragon meminta maaf kepadanya membuat suatu desiran tersendiri?
Butterfly in my stomach. Begitu kata pepatah saat ada desir tertentu yang menjalar akibat bunga romantis bermekaran.
Apa yang dilakukan lelaki itu padanya memang di luar akal sehat manusia. Kebrengsekannya juara. Akan tetapi, sebuah permintaan maaf yang diucap hanya untuk seorang Arwen Consantine?
Aragon mengerutkan kening, “Kenapa kamu cerewet sekali akhir-akhir ini, heh? Banyak tanya! Aku sudah pulang dan aku lelah! Pakai banyak tanya!” bentaknya kesal bercampur malu bercampur … perasaan bersalah.
Akan tetapi, mana mungkin dia mengakui itu semua? Seorang Aragon Vincenzo?
Cih! Bertekuk lutut di hadapan wanita bukanlah pedoman hidupnya dalam keadaan apa pun.
Arwen kembali ingin terkekeh, tetapi ia tahan di dalam hati. Ternyata, Aragon benar-benar meminta maaf! Pertama, ia berpikir dirinya sedang teler terkena obat tidur. Mungkin saat itu hanya salah dengar atau keinginan yang berubah menjadi mimpi.
Namun, tidak mungkin dia salah mendengar dua kali, bukan? Aragon benar-benar meminta maaf. Dan dari bagaimana wajah lelaki itu merona merah saatu ketahuan kalau meminta maaf, sepertinya apa yang dikatakan Moreen kemarin benar.
JIka sampai seorang Aragon Vincenzo meminta maaf, maka ….
‘Apa dia benar memiliki perasaan tertentu kepadaku? Saat kami berbelanja, sebelum dia menjadi gila dan mengamuk, aku bisa melihat ada yang berubah dari caranya memandangku,' lirih Arwen di dalam hati.
“Kenapa lihat-lihat, hah!” bentak Aragon karena Arwen menatapnya lekat, tersenyum simpul. Ia merasa sedang diteliti, diperhatikan dengan seksama, dan ini membuatnya risih.
“Melihat Tuan ….”
“Buat apa melihatku seperti itu?”
“Tidak boleh?”
Aragon mendadak menerkam Arwen dan menindih tubuh sang gadis cantik. Napasnya memburu cepat, mendengkus kasar sembari bibir disentuhkan merajai leher. “Kamu terlihat seksi malam ini.”
“Tuan senang?”
“Senang!” jawab Aragon singkat, lalu menyesap leher harum. Ia ciumi dengan buas. Jilati, gigit, sedot, membasahi tiap titik kulit lembut itu.
Bibirnya naik ke atas setelah puas membaluri leher Arwen dengan liurnya. Menciumi mulut sang gadis, liar dan ganas! Dia boleh saja menyangkal, tetapi rasa rindu jelas terasa di sana.
Bagaimana ia melumat, menarik bibir merah muda ranum hingga melar seperti karet, dan mengulum tanpa henti … uh, desahan pun merajai udara, keluar dengan jelas dari bibir Aragon.
Tubuh gagahnya menindih ketat. Arwen bisa merasakan sesuatu bangkit mengeras dari balik celana. Digerakkan berayun ke depan, meringsek ke kewanitaannya.
“Mmhhh!” engah Nona Constantine saat telapak tangan Aragon mulai meremas buah dada montok. Dan ketika pucuknya dipelintir, ia memekik kecil. “Uuaah!”
Berdua bergerak mengayun di atas ranjang yang mulai ikut bergoyang akibat pergumulan panas.
“Kalau ada lelaki yang menyentuhmu lagi, akan kubunuh lelaki itu!” desis Aragon sembari menyelipkan satu jari tengah ke balik lingeri.
BERSAMBUNG
BACA SELENGKAPNYA DI NIH BUAT JAJAN
KAMU SEDANG MEMBACA
The Mafia Dark Lust
Romantizm"Naik ke atas meja dan buka kakimu dengan lebar!" Aragon Vincenzo memerintah seorang gadis yang nampak ketakutan. Adalah Arwen Constantine yang sekarang gemetaran menghadapi mafia paling bengis di seluruh dataran Italia. Ia terpaksa dijadikan budak...