Ch 24

167 11 1
                                    

Arwen baru selesai mandi pagi dan diolesi obat saat pintunya dibuka. Beberapa hari berlalu sejak peristiwa penyiksaan di Kamar Bermain, di mana Aragon sama sekali tidak menemuinya.

Menatap dengan penuh rasa takut, deru napas wanita itu mengembus cepat. Jantung berdentum dipenuhi kekhawatiran.

Sorot Aragon terlihat memperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Buka jubah mandimu!” desis sang mafia bengis.

Tanpa menunda meski hanya satu detik, Nona Constantine mengangguk, lalu menarik ikatan di pinggangnya. Ia cepat melepas, meletakkan jubah mandi berbahan handuk di atas meja rias, dan membiarkan tubuh telanjangnya dipandangi lekat.

Aragon bisa melihat bagaimana sang wanita dilanda ketakutan. Wajah pucat pasi serta dada kembang kempis, ditambah mata mulai berkaca-kaca. Tangan Arwen tergenggam kaku di sisi kedua kaki.

“Aku hanya ingin melihat apakah lukamu sudah sembuh atau belum,” ucap Aragon, menyentuhkan jari-jarinya di kulit punggung yang tidak terlihat mulus untuk saat ini akibat bekas cambuk darinya.

Tak mampu berkata-kata saking takutnya, Arwen hanya mengangguk. Saat jari lelaki itu mulai menyentuh, ia terhentak bersamaan dengan tubuh mendadak gemetaran.

Kini, dada Aragon menjadi sesak karenanya. Melihat bagaimana sang gadis begitu ketakutan tidak lagi terasa menyenangkan baginya. Ia justru kesal sendiri dan tidak mau Arwen melihatnya seperti monster.

“Bisakah kamu berhenti gemetaran? Aku tidak akan mencambukmu lagi, oke?” desis Aragon membentak pelan. “Fucking baby! Selalu saja menangis dan gemetaran setiap kusentuh!”

Arwen memandang dengan sorot memelas, sangat meragukan ucapan lelaki tampan di hadapannya. ‘Mana mungkin kamu tidak menyiksaku lagi? Kamu begitu menikmati saat menyiksaku!’ rintihnya tetap ketakutan di dalam hati.

Helaan napas panjang muncul dari bibir Aragon, lalu ia membolak-balikkan tubuh Arwen. Matanya benar-benar meneliti apakah luka gadis itu sudah mulai membaik atau tidak.

“Hmm, tidak ada lagi luka bakar. Salep Dokter Marco memang manjur. Yang kemarin melepuh juga mulai mengering,” gumam Tuan Besar Vincenzo.

Lengan kekarnya kemudian mengambil jubah mandi di atas meja rias, lalu menyampirkannya di pundak Arwen. “Pakai lagi,” perintahnya singkat.

Mengusap matanya yang digenangi butiran bening, Arwen mengangguk. Setiap Aragon berbicara tentang salep Dokter Marco, ia sungguh ketakutan dan trauma. Semua penyiksaan serta rasa sakit seakan datang lagi mendera, membuatnya ingin berteriak.

Mata Aragon terus memperhatikan tubuh mungil memakai jubah mandi. Wajah cantik Arwen masih menyimpan luka di bagian bibir akibat tamparannya. Meski sudah mulai samar, tetap saja masih terlihat.

Ia maju dua langkah, lalu mengusap ujung bibir itu dengan jarinya. “Selalu ada konsekuensi bagi mereka yang ingin berkhianat kepadaku. Kamu beruntung kepalamu tidak kuledakkan saat itu juga,” desis lelaki kekar tersebut.

Wajah Aragon ditundukkan seraya bibirnya disentuhkan pada bibir Arwen. Ia mencium dengan perlahan di bagian yang terluka. “Tamparanku di sini hanya sekadar pengingat bagimu, bahwa sangat berbahaya membuatku marah. Aku yakin, kamu pasti mengerti itu, bukan?”

Memangnya Arwen bisa protes? Tentu saja tidak! Ia hanya mengangguk dan menahan agar rintih ketakutan tidak keluar dari bibirnya. Air mata yang ditahan akhirnya meleleh juga satu butir, jatuh ke pipi dan sedikit mengenai hidung mancung mafia kejam tersebut.

“Kenapa kamu menangis terus, hah?” engah Aragon karena perasaannya selalu bergejolak ketika melihat air mata tersebut. “Berhentilah menangis! Suara tangisanmu membuat telingaku teriritasi!”

“M-maaf … maafkan saya, T-Tuan!” Arwen menahan tangis dan ketakutan.

Aragon menelan liurnya dengan berat akibat menahan rasa sesak. Siapa saja yang melihatnya saat ini bisa tahu kalau lelaki itu sedang ditimpa kebingungan. Untung Arwen terus menunduk, jadi tidak tahu mafia gila itu berekspresi seperti apa.

Tiba-tiba, pinggang ramping Arwen ditarik oleh Aragon hingga tubuh mereka bertubrukan dan saling berdempetan. Napas pemimpin organisasi paling ditakuti di kota Milan terasa panas, memburu dengan cepat.

“Aku akan pergi ke luar kota selama lima hari, Little Girl! Aku berharap tidak ada kejadian apa pun saat aku pulang. Kunci kamarmu setiap waktu, baik kamu ada di dalam kamar atau tidak, mengerti?” desis Aragon di telinga Arwen, di mana bibirnya kemudian menelusuri kulit leher yang harum dan lembab.

Wangi segar buah-buahan menyeruak, membuat Aragon ingin sekali merebahkan Arwen dan bercinta. Sayang, pesawat pribadi sudah menunggu di landasan untuk membawanya pada urusan bisnis yang penting.

“K-kunci? Kunci ka-kamar?” gugup Arwen mendongakkan wajah, mengadu pandang dengan Aragon.

Seringai di wajah tampan terlihat bersama kepala yang mengangguk. “Ya, kunci pintumu. Pokoknya, kunci terus pintumu. Paham?”

Arwen mengangguk walau tidak tahu kenapa disuruh mengunci pintu. Tidak tahu kalau Aragon hanya ingin membuatnya aman dan tidak disakiti oleh siapa pun. Di mana tentu saja kekhawatiran itu tak akan pernah diutarakan oleh sang lelaki.

“Pa-paham, Tuan …,” angguk Arwen terengah.

Bibir ranumnya kembali dilumat habis oleh Aragon. Ditarik, dilibas dengan deretan gigi putih, disapu dengan lidah, bersamaan dengan dua bokong yang diremas gemas.

Aragon lalu menghentikan cumbuannya setelah sadar waktu semakin menipis, memaksanya untuk segera berangkat. Ia pandangi lagi wajah manis dan polos seorang Arwen. “Aku pergi dulu.”

“Se-selamat … selamat j-jalan, Tu-Tuan …

BERSAMBUNG
BACA SELENGKAPNYA DI NIH BUAT JAJAN

The Mafia Dark LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang