Pagi hari, ada sebuah belaian lembut membelai pipi Aragon. Suara merdu berdendang memanggil namanya, mengajak untuk membuka mata. “Sudah pukul tujuh pagi, Tuan. Tidakkah Tuan ingin bangun dan beraktivitas?”
Perlahan mata sang mafia terbuka. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah paras cantik Arwen sedang menatapnya riang. Tanpa bisa dicegah, senyum terlukis di bibir seraya bertanya, “Kamu sudah bangun duluan?”
Mengangguk, jemari lentik Nona Constantine mengusap kening, pucuk hidung, bibir, hingga dagu belah sang lelaki. “Sudah dari tadi. Ayo, duduk dan lihat apa yang saya buatkan untuk Tuan.”
Aragon meregangkan tubuh sesaat, lalu duduk di atas ranjang. Pandang mengikuti arah langkah Arwen yang sedang menuju sebuah meja kecil dekat ranjang. Ia terkekeh pelan nyaris tak terdengar. “Sarapan?”
“The best! Saya buatkan Rustico. Di dalamnya tidak hanya mozarella, tetapi juga saya tambahkan daging cincang agar semakin lezat!” jawab Arwen.
Ia berjalan kembali ke ranjang sambil membawa nampan berisi dua piring serta satu cangkir berisi kopi dengan gula hanya satu sendok teh, kesukaan Aragon. Meletakkan di atas ranjang, mulai memotong kecil, lalu menyendoknya.
“Saya suapi, ya?”
Aragon menatap dengan engah tertahan. Kilat memori bagaimana ia memecuti punggung sang gadis hingga berdarah tidak karuan terlintas. Hati menjadi pedih teremat dengan penyesalan.
“Tuan kenapa melamun?” kekeh Arwen menatap semakin lekat. Mata birunya nampak bersinar bersama sinar mentari yang masuk ke kamar dan menyinari bagian belakang kepalanya.
Aragon menggeleng, “Aku tidak menggeleng. Hanya berpikir … uhm … kamu sudah tidak takut denganku lagi, ‘kan?”
“Tuan sudah janji tidak akan menyakiti dan menyiksa saya lagi, bukan?” senyum Arwen sendu.
“Hmm,” angguk Aragon. “Dengan syarat kamu tidak menanggapi lelaki mana pun!”
Arwen terkekeh dan mengiyakan. “Kalau begitu, saya tidak perlu takut lagi kepada Tuan. Dari apa yang saya ketahui, seorang lelaki seperti Tuan Aragon selalu memegang janji.”
Menghela panjang, cukup berat, rasa penyesalan dan bersalah di sanubari lelaki tersebut masih menggulung. Dibaiki seperti ini oleh Arwen semakin membuatnya salah tingkah dan malu pada diri sendiri.
“Ayo, buka mulutnya, saya suapi,” ulang sang gadis tertawa pelan.
“Kamu … kamu tidak membenciku, Arwen?” Dengan ragu-ragu pertanyaan ini keluar bersama suara bariton yang terdengar resah. “Aku sudah begitu jahat kepadamu selama ini.”
Arwen tertegun walau masih tersenyum sendu. Kedua mata biru mereka saling tatap dalam sebuah irama jantung yang tak bisa dijelaskan.
Pun dengan perasaan yang kini berdebar cepat, menaikkan desiran tersendiri dalam urat nadi, tetapi bukan desiran birahi. Perasaan itu sulit dimengerti. Bagaimana momen ini terasa sedemikian syahdu sekaligus menegangkan.
Menghela lirih, Nona Constantine menjawab, “Tuan memang sudah menyakiti saya sebelumnya. Dan terus terang, saya sangat kesakitan serta sedih setiap mendapatinya.”
“Tapi, saya banyak melihat sisi seorang Aragon Vincenzo yang tidak dilihat oleh siapa pun. Dan itu membuat saya ingin mengerti lebih banyak tentang Tuan. Itupun seandainya Tuan menginginkan dan mengijinkan,” pungkas sang gadis cantik menatap kian lekat.
Aragon menelan saliva satu kali dengan sulit. “Ingin mengenalku lebih banyak? Seperti apa? Dan sisi apa yang kamu lihat dariku?”
Jemari Arwen meletakkan sendok di atas piring. Kemudian, ia melayangkan perlahan ke arah wajah mafia paling brutal di Italia. Suara lembutnya berucap, “Saya melihat seorang lelaki yang masih mempunyai hati, tidak seperti yang selama ini diberitakan.”
“Saya melihat sisi kelembutan dari Tuan saat kita berbelanja bersama. Betapa Tuan ingin menyenangkan saya. Lalu, saya melihat penyesalan dalam permintaan maaf kemarin. Ini semua adalah bukti kalau Aragon Vincenzo masih memiliki hati.”
Lelaki itu langsung menggeleng, “Kamu salah dengar soal permintaan maaf. Kamu itu bermimpi!” tangkisnya tetap mengelak, terlalu malu untuk mengakui.
Namun, Arwen justru tetawa mendengar penyangkalan tersebut. Apalagi, wajah Aragon telah berubah menjadi seperti anak kecil yang sedang ketahuan berbohong. Ada rona merah kemalu-maluan.
“Iya, iya, saya bermimpi, Tuan,” angguk Arwen mengiyakan dan mencubit gemas pipi di wajah tampan. Netra birunya menatap lembut, kemudian berucap, “Tapi, itu sungguh adalah mimpi yang indah.”
“Jika hati seorang Aragon Vincenzo memang masih ada dan itu diperlihatkan khusus kepada saya … apakah itu menjadikan saya seorang wanita yang beruntung, Tuan?”
Pertanyaan yang menarik, sekaligus menggetarkan sanubari. Aragon tidak pernah terlibat dalam pembicaraan hati ke hati seperti ini. Satu-satunya pembicaraan serius yang sering ia jalani adalah mengenai bisnis atau apakah dia harus membunuh seseorang atau tidak.
Maka, tak ada satu patah kata pun meluncur keluar karena ia terlalu bingung untuk menjawabnya. Tak tahu hendak bilang apa.
“Sudah, jangan dipikirkan, Tuan. Biarlah semua berjalan apa adanya. Yang pasti saya tidak ingin membuat Tuan marah lagi. Dan semoga Tuan bisa selalu senang dengan keberadaan saya sehingga tidak lagi menyakiti seperti dulu,” pungkas Arwen.
Ia menaikkan kembali sendok berisi sarapan lezat, “Sekarang, saya suapi lagi, ya? Mumpung masih hangat.”
“Hmm,” jawab Aragon mengangguk.
Demi apa pun juga, ia menyukai kebersamaan ini. Telah berpikir tadi malam saat memandangi wajah Arwen, bahwa ada perasaan jatuh cinta menyeruak.
Namun, bagaimana mengatakannya? Bukankah menyatakan cinta berarti menyatakan ia bertekuk lutut di hadapan sang wanita cantik?
BERSAMBUNG
BACA SELENGKAPNYA DI NIH BUAT JAJAN
KAMU SEDANG MEMBACA
The Mafia Dark Lust
Romance"Naik ke atas meja dan buka kakimu dengan lebar!" Aragon Vincenzo memerintah seorang gadis yang nampak ketakutan. Adalah Arwen Constantine yang sekarang gemetaran menghadapi mafia paling bengis di seluruh dataran Italia. Ia terpaksa dijadikan budak...