Ch 38

1.5K 36 0
                                    

Arwen memejamkan mata, pasrah terhadap nasib yang akan menimpanya sebentar lagi. Wajah Aragon melintas, membuatnya bertanya apakah lelaki itu sedemikian muak padanya hingga harus mengutus Leona untuk menyiksanya seperti ini.

“Aaaakkkk!” Teriakan menggema, meraung di dalam sel berbau pesing penuh kotoran. Satu pecutan ganas mendarat di dada Nona Constantine.

Baju tidurnya yang tipis sontak terkoyak, sobek terkena cambuk lateks yang dibawa Leona penuh dengan senyum kemenangan.

“Hahaha! Rasakan itu, B*tch!” teriak Leona kembali mengangkat tangan.

Satu, dua, tiga, empat, dan lima …. Ada lima kali bunyi kulit beradu dengan tali plastik tebal, diikuti dengan rintih kesakitan luar biasa.

Perih, panas, daerah dada Arwen hingga ke perut, bahkan paha yang terlipat pun tak luput dari lima sabetan yang dilakukan oleh Leona. Ia menangis, merintih bersama sekian tetes air mata. “Bunuh aku, please … bunuh aku ….”

Leona kembali tergelak. Mendadak, tangannya sudah menjambak rambut cokelat panjang milik Little Girl hingga paras bersimbah air mata mendongak ke atas.

Desis mafia wanita itu terdengar tak kalah menyeramkan dari sapaan malaikat maut. “Jika boleh jujur, aku ingin memotong pergelangan tanganmu saat ini juga dan membiarkanmu mati kehabisan darah.”

“Tapi, Aragon-ku sayang berkata hanya dia yang boleh membunuhmu. So … aku hanya akan bersenang-senang denganmu dan memastikan hidupmu seperti neraka hingga dia yang mencabut nyawa sialanmu!”

Arwen terisak, kembali melihat wajah Aragon dalam lintas bayang. Kemesraan yang terjadi, kecupan sayang yang sudah tercipta, semua berakhir sudah.

“Aaaakkkk!” jeritnya tak bisa tertahan ketika satu tamparan sangat kencang hadir di wajah, disusul dengan cambukan berkali-kali pada bagian punggung.

Bunyi rantai gemerincing terus terdengar bersama teriak penuh penderitaan seorang Arwen Constantine yang tak ada habisnya. Secara reflek tangan bergerak ingin menghentikan cambuk Leona yang terus menyiksa berbagai bagian tubuh.

Akan tetapi, tangan itu dirantai, pun dengan kakinya. Ia hanya bisa mengerang dan mengejang setiap kulitnya tersayat cambuk lateks berwarna hitam.

Dalam setiap cambukan yang mendarat, ada lapisan kulit yang terkelupas. Darah mewarnai kulit putih. Satu atau dua luka yang terus dicambuki sepertinya bahkan mulai kehilangan lapisan kulit dan memamerkan daging segar, terluka.

“Hentikaaan! Aku mohooon! Hentikaaan!” Arwen terus menjerit, berharap ada setitik saja belas kasian Leona pada dirinya.

Arwen yang malang, dia tidak tahu jerit serta tangis kesakitannya adalah nada paling merdu bagi seorang psikopat seperti Leona Mariachi. Satu tetes darah yang mengalir keluar adalah hadiah natal terindah bagi adik angkat Aragon tersebut.

Tamparan satu berlanjut pada tamparan kedua, tamparan ketiga, keempat, dan bibir Arwen mulai mengucurkan darah segar karena sobek. Tak jauh berbeda, hidungnya pun menjadi sasaran empuk bogem mentah dari tangan Leona.

“Uhuk! Uhuk! Ugh! Ugh!” engah Arwen dengan suara tertahan saat ujung sepatu boot Leona menendangi perut serta dadanya yang sudah penuh dengan bekas luka cambuk.

Sekuat apa pun Arwen menahan sakit di sekujur tubuh, pada akhirnya tenaga habis sudah karena Leona tak kunjung berhenti menyiksanya. Yang tadinya duduk bersimpuh kini terhuyung dan tersungkur ke atas lantai hitam penuh lumut.

“Akh! Akh! Akh!” engahnya lagi menjerit karena punggung ditendangi oleh kaki Leona.

Masih tak cukup puas melihat rivalnya dalam mendapatkan cinta Aragon babak belur penuh luka cambuk seperti ini, masih saja terdengar suara Leona. “Ambilkan air dingin!”

Anak buahnya yang ada di luar sel mengangguk. Beberapa menit kemudian mereka sudah kembali membawa beberapa ember air berisi es batu. “Silakan, Nona Mariachi!”

Tertawa laknat, tertawa bak jelmaan setan, Leona mengambil satu ember air dingin dan menyiramkannya dengan kencang ke raga lemah Arwen di atas lantai.

Sontak, tubuh malang langsung menggigil kedinginan. Apalagi, pakaiannya sudah compang-camping sobek tidak karuan terkena hantaman cambuk.

Setelah rasa dingin menyengat, munculah rasa perih yang luar biasa. Namanya luka terbuka kemudian terkena air dingin. Bayangkan saja bagaimana perihnya?

Arwen tak mampu bersuara apa pun. Hanya tubuh yang terus mengejang kesakitan bersama bibir gemetar tidak bisa berhenti.

Hati memanggil nama Aragon, menuntut agar sang lelaki hadir di dalam sel. Menemui dan bunuh saja dia secara langsung daripada harus melewati semua ini.

Satu kali siraman air dingin kembali mengguyur tubuh Arwen. Tangisnya tak ada yang peduli. Jika peduli sekalipun, apa yang bisa diperbuat? Leona adalah orang kedua di Klan Vincenzo setelah Aragon. Seisi rumah takut kepadanya.

“Hahaha! Sudah kubilang dulu, kamu akan mengalami nasib paling menyedihkan, Arwen Constantine! Kamu bermain denganku, kamu mau melawanku? Itu artinya kamu siap mati!”

BERSAMBUNG
BACA SELENGKAPNYA DI NIH BUAT JAJAN ATAU KARYAKARSA

The Mafia Dark LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang