ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـRF 30ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

2.4K 112 2
                                    

Assalamualaikum renicaaa, selamat datang di cerita yang banyak kurangnya ini. Semoga menghibur kaliannn, jangan lupa vote dan komen sebanyak-banyaknya.

DAN JANGAN LUPA BERSHOLAWAT
Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad

𓇼 ⋆.˚ 𓆉 𓆝 𓆡⋆.˚ 𓇼

Malam hari, Anna melangkah perlahan keluar dari kamar rumahnya, hati berdebar karena jam sudah menunjukkan larut. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, seolah mengingatkan bahwa setiap keputusan yang diambil kini akan membawa konsekuensinya. Di kamarnya, Gus Raja yang terlihat khawatir menghampiri Anna, menawarkan untuk mengantarnya kembali ke asrama.

"Biarkan mas mengantarmu, Bahiyyi," kata Gus Raja dengan suara lembut namun penuh ketegasan, berharap Anna merasa lebih aman.

Namun, Anna hanya tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. "Tidak usah mas, mas disini aja. Lagi pula kamar Anna tidak jauh dari sini," jawabnya dengan hati-hati, berusaha menjaga jarak. Gus Raja tidak memaksa, hanya mengangguk dan menatap Anna pergi dengan tatapan cemas yang tak bisa disembunyikan.

Anna melanjutkan langkahnya menuju asrama, menyusuri jalan setapak yang sepi dan gelap. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah bayangan-bayangan gelap semakin menghantui pikiran. Ketika sampai di lorong yang sunyi, tiba-tiba, dari balik kegelapan, tangan kuat yang tak terlihat menyambar pergelangan tangannya, menariknya begitu cepat dan membuat Anna hampir kehilangan keseimbangan. Sebelum ia bisa berteriak atau melawan, sebuah kain gelap diikatkan di matanya, menghalangi pandangannya.

Tangannya dan kakinya dibelenggu dengan cepat, tubuhnya tak berdaya di tangan seseorang yang tampaknya sudah merencanakan ini dengan matang. Dalam kebingungannya, Anna hanya bisa mendengar langkah-langkah berat yang membawanya lebih jauh dari asrama. Ia dipaksa menuju gudang yang terletak di bagian paling belakang pesantren, tempat yang selalu sepi dan menyeramkan, seolah menjadi tempat penyimpanan rahasia yang gelap.

Gudang itu terasa menyesakkan, dan Anna merasakan hawa dingin yang semakin mencekam saat ia diseret ke dalamnya. Semua harapan untuk menemukan jawaban seakan sirna, digantikan oleh ketakutan akan tujuan orang yang membawanya ke tempat itu. Anna bertanya-tanya, siapa yang melakukan ini padanya, dan apa yang mereka inginkan. Tapi dengan mata yang terikat, ia hanya bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat.

"Hahaha, Anna, Anna, dan Anna. Apa kabar Anna? Bagaimana apakah enak makan di ndalem? Apakah enak di perhatikan keluarga ndalem?" Ujar pelaku itu.

"Kamu sia—" ucapan Anna terpotong karena mulut Anna dimasukan kain.

"Malam-malam, keluar dari rumah Gus Raja. Hebat Anna, ada hubungan apa kamu dengan Gus Raja?"

"Harusnya saya yang ada di posisimu Anna, tapi mengapa harus kamu?"

Tangan pelaku itu memegang tangan Anna yang di ikat, "Tangan ini yang memegang sendok dan bagian rumah Gus Raja. Kalau saya gambar di sini apakah boleh, Anna?"

Anna hanya dapat memberontak dan berdoa semoga pertolongan segera datang.

Tes! Tes! Tes!

Pelaku yang menyeret Anna ke dalam gudang tak hanya membelenggunya dengan kuat, tetapi juga menyayat tangannya dengan sebuah pisau tajam. Suara pisau yang melukai kulit Anna terdengar tajam dan mengerikan di dalam keheningan malam itu. Tangan Anna seketika terasa terbakar oleh rasa sakit yang luar biasa, darah mulai mengalir deras, menetes ke lantai kayu yang kasar dan tua.

Setiap tetesan darah yang menetes membuat suasana semakin mencekam, seakan menciptakan jejak yang tak bisa dihapus. Anna terengah-engah, berusaha menahan rasa sakit, namun mulutnya yang disumpal kain mencegahnya untuk berteriak. Darah mengalir dari luka di tangannya, meresap ke lantai, meninggalkan noda merah yang jelas, seolah-olah itu adalah satu-satunya saksi bisu dari apa yang sedang terjadi padanya.

Dengan mata yang terikat kain, Anna hanya bisa merasakan setiap detik penderitaan, mencoba untuk tetap tegar meski darahnya terus menetes. Ketakutannya semakin memuncak, sementara pelaku hanya diam, mungkin menunggu sesuatu yang lebih buruk.

"Hahaha, tangan kecilmu ini sudah luka Anna, apakah masih bisa kamu keluar masuk rumah Gus Raja?"

"Teruslah berdoa Anna, lagi pula siapa yang akan menolong mu malam-malam seperti ini?"

"Tidak mungkin ada yang tahu kita di sini Anna, saya akan bersenang-senang dengan tubuhmu ini,"

"Apa pesan terakhir yang ingin kamu sampai Anna? Siapa tahu esok pagi kamu sudah tidak bisa bangun lagi?"

"Semakin lama, semakin dekat. Saya kira kamu kerabat dekat keluarga ndalem, ternyata saya salah. Kenapa bisa kamu jadi istri Gus Raja, Anna?"

"Harusnya saya yang di sana, Anna,"

Tidak hanya tangan, pelaku tersebut menaikan rok yang Anna pakai dan menampilkan kaki yang putih bersih.

"Kaki yang biasa kamu gunakan untuk jalan ke rumah Gus Raja bukan? Bolehkah saya gambar di sini juga, Anna?"

Anna hanya menggeleng dengan tenaga yang tersisa.

"Kaki yang indah Anna, sedikit saya lukis di sini,"

Pelaku yang tak kenal ampun terus melukai Anna dengan sadis. Setelah tangan Anna disayat, rasa sakit yang tak terperikan mulai menyebar ke seluruh tubuhnya. Tanpa ampun, pelaku berpindah ke kakinya, menyayat kulitnya dengan pisau tajam yang seolah-olah dirancang untuk menyiksa. Setiap goresan yang tajam itu meninggalkan luka menganga, dan darah mulai mengalir dari kaki Anna, meresap ke lantai yang kotor dan dingin.

Tetesan darah dari kedua tangannya dan kakinya kini mengalir bersamaan, menciptakan jejak yang semakin jelas di lantai. Rasa sakit yang mendera tubuhnya tak bisa dibendung. Anna berusaha melawan, meski mulutnya terbungkam kain dan tubuhnya terikat erat. Suara tangisan teredam, hanya bisa terdengar dalam desahan napasnya yang berat.

Darah mengalir dari kedua luka tersebut, memperburuk kondisinya. Kaki Anna terasa lemas, hampir tak bisa menopang tubuhnya yang semakin lemah. Namun, dalam kebingungannya dan dalam kegelapan yang memburunya, ia terus berusaha bertahan, meski rasa sakit dan ketakutan hampir menguasai seluruh jiwanya. Pelaku itu masih diam, terus melakukan apa yang direncanakan tanpa menghiraukan penderitaan yang Anna rasakan.

"Waw, darah yang segar, Anna. Lukisan yang saya buat sangat indah, apakah kamu mau saya lukis di wajah cantikmu itu?"

"Tangan kecil, kaki mulus, dan yang terakhir wajah. Wajah cantik yang membuat Gus Raja tergila-gila,"

"Jelas jika di bandingkan saya, saya akan menang Anna. Tapi entah pelet apa yang kamu gunakan, sampai-sampai Gus Raja mau menikahi mu,"

"Hitungan ke 3 saya akan melukai tepat di wajah mu Anna, bersiaplah,"

"Satu, dia, ti—"

BRAK!

𓇼 ⋆.˚ 𓆉 𓆝 𓆡⋆.˚ 𓇼

Bagaimana chapter 30 ini? Jangan lupa vote dan komen.

RAJA FIRDAUS (ON GOING)Where stories live. Discover now