Ekstra part 5

214 7 0
                                    

"Gue pulang," suara Leon terdengar berat, nyaris tenggelam oleh udara dingin yang menyambutnya di rumah. Ia melangkah masuk tanpa melepas sepatu, tubuhnya menyeret rasa lelah yang tak kasat mata. Tanpa banyak berpikir, ia menjatuhkan diri ke sofa, membiarkan punggungnya tenggelam dalam sandaran dingin yang terasa seperti pelukan netral—tidak hangat, tapi juga tidak menghakimi. Hari ini terasa seperti perjalanan seabad yang penuh beban, dan Leon hanya ingin dunia berhenti sejenak.

Dari sudut ruangan, suara ceria Abigail menggema, memecah keheningan yang sebelumnya menyelimuti rumah. Gadis kecil itu berdiri dengan tangan kecilnya bertolak pinggang, menatap kakaknya dengan senyum nakal. “Nono jeyek, Nono ndaa eyen!” ejeknya dengan suara nyaring yang bercampur tawa. Lalu, dengan ekspresi penuh kemenangan, ia menambahkan, “Oh, atuu inatt! mas Nono elnah ompol di celana!”

Tawa Abigail pecah, memenuhi ruangan dengan gelombang kekanakannya. Elno, yang sedang duduk di dekat meja, langsung memelototi adiknya dengan wajah memerah.

“Abigail! nggak usah bohong deh! itu dulu banget!” sergahnya dengan suara gemetar antara malu dan kesal. Ia meraih bantal terdekat, menutupi wajahnya sambil menghindari tatapan mengejek Abigail yang semakin puas dengan reaksinya. Namun, bukannya merasa bersalah, Abigail malah tertawa lebih keras, suaranya menggema hingga ke langit-langit.

Langkah kaki ringan terdengar mendekat dari arah dapur. Kaiyca muncul dengan segelas teh hangat di tangannya. Gerakannya tenang, tapi tatapannya penuh arti. “Kalian berdua bisa nggak berhenti ribut sebentar?” katanya lembut namun tegas. Senyumnya yang tipis dan menenangkan langsung membuat Abigail diam, meskipun cengiran nakal masih tersisa di wajahnya.

Kaiyca mengarahkan pandangannya ke Leon yang terdiam di sofa. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya, seraya meletakkan teh itu di meja kecil di hadapannya. Ia duduk di ujung sofa, tubuhnya condong sedikit ke arah suaminya, memperlihatkan perhatian yang tulus.

Leon mengangguk kecil, hampir tidak terlihat. “Cuma capek,” gumamnya pendek, matanya tetap tertuju ke langit-langit.

Kaiyca menarik napas pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. Tatapannya beralih ke arah Abigail dan Elno, yang kini mulai bermain lebih tenang setelah Sheru, harimau kecil mereka, tiba-tiba melompat ke tengah mereka dengan semangat. Suara dengkuran kecil Sheru yang lucu membuat Abigail tertawa lagi, meski kali ini lebih lembut.

“Hari yang berat lagi, ya?” gumam Kaiyca, mencoba mencairkan suasana.

“Seperti biasa,” jawab Leon, suaranya terdengar lelah, tapi kali ini ada nada yang lebih ringan. Ia menoleh sebentar, memandang istrinya, lalu menghela napas panjang. Kehadiran Kaiyca, dengan caranya yang sederhana namun penuh perhatian, selalu berhasil membuat dunia Leon terasa sedikit lebih stabil.

Di sudut lain, Abigail dan Elno masih sibuk dengan Sheru, sementara tawa mereka perlahan menyatu dengan keheningan rumah. Leon menutup matanya, membiarkan momen itu mengalir. Dalam segala keributan kecil yang ada, rumah ini selalu berhasil menjadi tempat di mana ia merasa pulang—tempat di mana ia tahu semuanya akan baik-baik saja.

****

Dapur,

Malam harinya, Abigail melangkah kecil memasuki dapur, langkahnya nyaris tak bersuara di lantai dingin. Pandangannya tak sengaja melihat ke arah lemari dapur yang sedikit terbuka, dan di sanalah ia melihat—Sheru. Harimau kecil itu duduk diam, matanya yang berwarna keemasan menatap Abigail.

Abigail menyipitkan mata, wajahnya langsung dipenuhi kepedulian. "Sheru, angan atut, bi antuin!" Suaranya lantang, penuh tekad, seakan ingin memberikan perlindungan. Namun, Sheru tetap tak terganggu. Harimau kecil itu hanya mendongak sedikit, menatap Abigail sejenak dengan mata besarnya. Alih-alih merespon, Sheru malah kembali menjilati bulunya dengan tenang, seolah tak melihat keberadaan Abigail.

LEONIDAS (PO TGL 3 DES)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang