Episode 41

1 0 0
                                    

Oisin menarik kursi belajarnya begitu memasuki kamar setelah selesai makan malam yang justru kenyang oleh nasehat Sabira. Tuh kan, tidak ada yang salah. Tidak ada yang salah kalau dirinya suka pada Michika. Yang salah adalah jika Oisin memanifestasikan perasaan itu dengan tindakan nyata: mengajak Michika pacaran. Sebelum itu semua terjadi, Oisin akan membangun benteng pertahanan diri yang kuat sembari meyakinkan diri sendiri bahwa Chava adalah pilihannya. Chava lebih dari cukup. Chava adalah cintanya.

Tapi belum apa-apa bayangan wajah Michika langsung terlintas di benaknya.

"Sialan!" Oisin mendesis, kesal pada dirinya sendiri.

Ponsel di meja belajar bergetar. Oisin segera mengambilnya. Rupanya ada panggilan video call dari Chava. Tanpa pikir panjang, Oisin segera menangkatnya.

"Halo, baby..." sapaan lembut nan manis beserta senyumnya langsung Oisin lihat dan dengar lewat layar ponselnya.

Oisin malah terdiam. Bengong.

"Baby? Halo? Sin?" melihat Oisin tidak merespon, Chava kembali menyapanya sambil mendekatkan wajah ke layar ponselnya sehingga tampilan layar ponsel Oisin full oleh wajahnya.

Oisin pun menghembuskan nafasnya perlahan. Ucapan Kahlil tadi siang terngiang. Ada benarnya. Hubungan yang sudah ia bangun bertahun-tahun tidak boleh rusak segampang itu karena Michika. Bagaimana Chava menyayangi dirinya, tersenyum untuknya dan selalu menyediakan waktu untuknya. Hal itu tidak boleh berakhir. Hal itu harus terus berlangsung karena memang itu yang Oisin perlukan. Yang hanya bisa Chava berikan. Bukan Michika.

"Hai." Oisin menjawab sembari tersenyum tipis.

"Sin, kamu bikin aku panik aja deh. Aku pikir kamu kesambet." Chava berkata sambil kembali menjauhkan ponsel dari wajahnya. Di akhir kalimat, ia sengaja melucu.

Senyum Oisin sedikit lebih lebar. Tapi hanya sesaat. "Gimana di Bandung? Lancar?"

Chava mengangguk. "Hari pertama lancar, Sin. Tapi aku capek banget nih. Rasanya badan pegel-pegel."

"Jangan dipaksain. Kalo sekiranya lo capek, lo langsung istirahat."

Chava terkekeh. "Iya, sayang. Ini juga aku mau istirahat." Ponsel Chava tampak tidak stabil karena pergerakan Chava.

"Berarti udah di hotel?"

"Ya udahlah, kan aku bilang mau istirahat. Kamu aku tinggal sehari langsung bolot."

Oisin mendengus. Ia memperhatikan layar ponsel yang lagi-lagi menunjukkan ketidakstabilan Chava karena terus bergerak. Sepertinya Chava sedang berpindah tempat ke tempat yang lebih nyaman. Benar saja, kali ini terlihat Chava sudah duduk di atas ranjang dengan sprei berwarna putih. Ia duduk sambil memangku bantal dan bersandar di sandaran kasur.

"Kamu lagi apa, Sin? Udah makan belum?" gadis itu kembali bertanya setelah ponselnya sudah stabil.

"Udah."

"Makan sama apa?"

Oisin mendengus lagi. Ia paling tidak suka pembicaraan basa basi ala-ala pasangan baru. Mereka sudah bertahun-tahun bersama. Obrolan mereka sudah bukan sekedar itu. "Lo sendiri udah?"

"Udah... Oops!" Chava nih banyak gerak banget sih. Entah di sana ia menjatuhkan apa, intinya wajah Chava jadi tidak terlihat di layar karena ia mengambil sesuatu yang jatuh di dekat kasurnya. Tangan kirinya yang ia fungsikan untuk mengambil sesuatu itu. Sementara tangan kanannya masih tetap memegang ponsel.

Tidak menampilkan wajah Chava, bukan berarti tidak menampilkan apa-apa. Kamera ponsel Chava menyorot sebagian kecil dinding kamar hotel tempat ia menginap untuk malam ini dan dua malam ke depan. Selain dinding yang berwarna cream, juga menyorot lampu tidur di atas nakas, samping ranjang. Tidak ada yang aneh. Semua normal, seperti halnya hotel pada umumnya. Namun ada satu benda yang menurut Oisin merasa ganjil. Di atas nakas dekat lampu tidur, Oisin melihat ada sebuah jam tangan.

The Girl I Met That DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang