Usaha Michika untuk menguak siapa stalker-nya bisa dibilang gagal total. Bukannya ketemu itu orang, malah Michika ketemunya sama Oisin. Mana Alan datangnya terlambat, ketika UKS sudah kosong. Alhasil saat itu Alan kembali ke kelas dengan bingung. Suprisingly, ketika Alan sudah sampai di kelas, Michika sudah duduk di bangkunya dengan senyum cerah. Hal ini membuat Alan, juga Sophie terheran-heran.
"Jangan-jangan lo ketemu sama stalker-nya, terus lo diapa-apain ya, sama dia?" tanya Sophie ngeri.
"Nggak. Gue nggak ketemu stalker-nya. Sial." berhubung sekarang sudah waktu istirahat, wajah Michika sudah tidak secerah tadi. Wajahnya sudah dalam setelan normal.
"Tapi gue jadi curiga sama satu anak sih." Alan mendadak kepikiran.
"Siapa, Lan?" Sophie dan Michika bertanya hampir bersamaan.
"Setelah Chika kemaren pamit ke UKS, ada satu lagi anak di kelas kita yang ikut pamit ke toilet nggak lama setelahnya. Bahkan sebelum lo kasih alarm ke gue, Chik." Alan membungkukkan badan, agar bisa lebih dekat dengan kedua sahabatnya itu. Suaranya juga memelan, seolah apa yang sedang ia katakan adalah sebuah rahasia besar.
"Siapa?" tanya Michika dengan wajah yang berubah jadi serius.
*
Keesokan harinya, Michika datang cukup awal. Ia masih tidak begitu mau percaya dengan siapa yang sudah Alan dan Sophie curigai, yaitu seorang yang tak lama setelah ia keluar ke UKS, ikut keluar dengan alasan ke toilet. Masalahnya, orang itu tuh seperti orang yang mustahil akan melakukan kegiatan menguntit. Masih dengan pemikiran denial-nya, langkah Michika langsung berhenti saat ia sudah tiba di kelas. Tepatnya di mejanya.
Terdapat sebuah kotak dalam keadaan terbuka dengan isi cake yang sudah dihancurkan. Bahkan pisau yang digunakan untuk menghancurkan cake itu juga masih tertancap di potongan cake. Tak hanya itu, di meja dekat kotak berisi cake hancur itu ditulisi menggunakan lipstick merah menyala dengan tulisan: WHORE.
Takut? Sedikit. Marah? Banyak! Daripada takut, Michika benar-benar marah. Nafasnya langsung tertahan, matanya langsung memerah dan kedua tangannya mengepal. Entah apa maksud dan tujuan si penguntit mengirim cake dan pesan seperti ini untuknya. Langsung Michika bawa kotak cake itu keluar kelas. Niatnya mau ia buang langsung ke tempat sampah. Tapi sebelum ia sampai di depan tong sampah, ia bertemu dengan seseorang yang baru mau tiba di kelasnya.
Seseorang itu sempat bertemu mata dengan Michika. Namun segera setelahnya, ia menundukkan kepala sambil melanjutkan langkah, memasuki kelas. Ketika melewati Michika, dengan satu tangannya, Michika menahan seseorang itu lalu mendorong seseorang itu ke belakang. Orang itu langsung gigit bibir. Ketakutan. Kedua tangannya mengerat pada tali ransel yang melingkari kedua lengannya.
"Ini maksudnya apa?" Michika bertanya pada orang itu sambil menunjukkan cake yang belum ia buang.
Orang itu melihat ke arah cake sekilas, kemudian ia gelengkan kepalanya dengan panik. Sekuatnya. Padahal baru Michika tanya seperti itu, tapi ia sudah ketakutan.
Michika diam sejenak untuk melihat sepatu orang itu. Matanya langsung melebar. Sepatu itu sama persis dengan sepatu yang pernah ia lihat di UKS saat pertama kali ia sadar dirinya dikuntit. "Ini perbuatan lo kan? Termasuk yang nyoret-nyoret meja gue, ngatain gue whore?"
Kembali orang itu menggelengkan kepala. Orang itu mundur sampai pinggangnya membentur pembatas koridor.
"Udah deh, ngaku aja! Lo juga kan, yang udah nguntit gue waktu itu di UKS? Sama hal-hal lain yang menjijikkan?!" melihat wajah orang yang ketakutan itu, bukannya membuat Michika melunak apalagi kasihan, ia malah marah dan kesal. Ia mendekatkan langkahnya ke arah orang itu dengan tangan masih memegang kotak cake.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl I Met That Day
Novela Juvenil(COMPLETE) Bagi Oisin, Jaiko sudah seperti sosok pahlawan karena telah menyelamatkannya dari perundungan yang selalu ia alami semasa SD. Sayangnya, pertemuannya dengan Jaiko hari itu, sekaligus menjadi hari terakhir mereka bertemu. Meski semasa SMP...