Keberanian Dicintai

49.2K 2.6K 48
                                    

Tok.. Tok... Tok...

"Kim...." suara panggilan dari luar kamar menyadarkan Kimberly yang sedang berdiri di luar kamarnya. Salah satu tempat yang sudah menjadi tempat paling ia sukai di rumah itu. Kimberly bisa berlama-lama di balkon kamarnya sendiri.

Menatap awan putih yang kadang meredupkan perasaannya jika warnanya bercampur mendung atau menyejukan hatinya jika kumpulan awan itu bersatu membentuk kapas-kapas putih seolah mereka bersih dan suci.

Kimberly bahkan bisa bertahan hingga malam di tempat itu. Menatap bintang dan bulan yang saling bersaing memancarkan keindahaannya menemani malamnya dalam kesendirian yang tak kunjung berubah. Selama enam belas tahun ia bernafas ia masih merasa kesepian tanpa mempunyai pelengkap hati yang mampu mengisi kekosongan di dalamnya.

Sederhana keinginan dirinya. Berada dekat dalam dekapan sang mama.

"Kim...ayo makan malam sayang..." Ibu Rani masuk ke kamar anak tirinya sambil tersenyum. Sudah dua bulan Kimberly tinggal di tempat itu. Selama itu baik Rani maupun Adi ayah kandung Kimberly sangat bersikap baik kepada dirinya. Kimberly benar-benar diperlakukan layaknya anak yang tidak pernah mereka punya. Semua kebutuhan Kimberly tercukupi dengan baik.

"Maaf Ibu Kim belum lapar." Rani berdiri sejajar dengan Kimberly.

"Kim kamu sudah dua bulan tinggal dengan kami tapi kenapa kamu masih merasa canggung dengan kami." Rani menyentuh buku tangan Kimberly yang bersandar di pembatas balkon. Matanya lekat menatap wajah cantik anak tirinya yang sangat cantik.

"Kim hanya bingung mau berbuat apa di rumah ini. Kim bingung bu maaf.." Rani tertawa geli dengan tingkah Kimberly.

Kimberly memang telah bersekolah di sekolah pilihannya. Setiap hari dia selalu diantar oleh supir yang sudah disediakan bahkan mobil diperuntukan untuk dirinya.

Setiap hariya setelah pulang sekolah ia akan mendekam di kamar tanpa bergaul dengan teman sebayanya. Ia tidak mencari kebebasan menghabiskan masa remajanya dengan riang. Entah mengapa ia merasa asing.

Keadaan sekitar membuat ia asing akan dirinya sendiri.

"Kamu tidak mau ikut acara arisan komplek di sini?" Kimberly hanya menggeleng tidak antusias.

"Setiap tiga bulan sekali penghuni komplek di sini selalu menyempatkan acara arisan di lapangan dan taman. Ibu dengar anak-anak mudanya mau bikin bazzar. Kamu nggak tertarik ikut?" ajak Rani sopan.

"Kim nggak kenal anak-anak di sini. Kim nggak punya teman bu." Kimberly menatap langit gelap.

"Nanti ibu kenalin yah. Ada beberapa yang seumuran sama kamu. Kebetulan kemarin mereka kesini dan ingin mengenal kamu, tapi karena kamu belum pulang sekolah mereka pulang." Kimberly mengangguk.

"Ayo makan malam bersama temani ibu. Papamu belum pulang dari luar kota. Ibu tunggu di bawah." Rani meninggalkan Kimberly yang masih betah menatap langit dengan pancaran bulan yang tertutup awan.

"Awaann.." lirih Kimberly pelan menatap langit.

Duk..

Kimberly memekik kaget karena sebuah anak panah menancap di dinding tepat di belakang dirinya. Bahkan ia merasakan hembusan angin saat anak panah itu melewati di sekitar wajah dirinya.  Anak panah itu menancap di dinding balkon kamarnya dan terlihat selipan kertas.

My Love Kim Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang