Prolog

40.6K 1.6K 22
                                    

Keduanya saling menatap tajam dalam diam, penampilan mereka sama-sama lusuh, wajah mereka yang merah padam, terlihat sembab dengan air mata yang terus mengalir di pipi. Sorot mata mereka menggambarkan betapa frustasi, marah, sedih, kecewa dan rasa penyesalan bersatu dalam emosi mereka saat ini.

" Bunda aku memang selalu memimpikan diriku untuk menikah, tapi tidak dengan cara yang seperti ini ! Aku mohon..bunda...sadarlah...ini adalah perbuatan dosa bunda, ini dosa besar ! Ini sama saja bunda sudah menjualku ! " Zahra berkata sambil terisak-isak di tengah gerungan tangisannya yang menyayat hati.

" Kenapa bisa bunda ? Apa yang menyebabkan bunda tega memberikan diriku dan kehormatanku pada seseorang yang jelas sudah menghancurkan perusahaan kita ?! " Zahra bertanya dengan nada sedikit berteriak, membuat ibunya semakin frustasi dan mengacak-acak rambutnya seperti orang gila.

" Berhenti menentangku Zahra ! " Sang bunda berteriak keras di depan wajah Zahra, sehingga tubuh Zahra gemetar ketakutan dibuatnya. Merasa tidak tega melihat sang buah hati yang sangat lemah ketakutan, dengan kedua lengannya ia dekap putri semata wayangnya itu dengan sangat erat. Ia bisa merasakan tubuh putrinya yang gemetar dan menegang dalam pelukannya.

" Maafkan bunda Zahra,...maafkan bunda..."Air mata sang bunda menetes di atas bahu Zahra.
" ini semua karena salah bunda yang terlalu arogan dan serakah, bunda tidak seharusnya gelap mata dan menjadikanmu taruhan dalam permainan judi itu, kalau kau tahu betapa tertekannya bunda saat dia sudah memenangkan beberapa set dan mengambil alih seluruh aset kita..." Kedua tangan bunda mendekap pipi Zahra memaksa mata Zahra untuk menatapnya " tapi ini juga jalan yang terbaik Zahra, dengan kau menikah dengannya kau akan bahagia, aku yakin Zahra karena kau tidak perlu merasakan kekurangan uang, ia pasti akan menjamin kebutuhan hidupmu dengan baik nak" Zahra menatap kecewa kepada ibunya, ia tidak habis fikir bagaimana bisa sang bunda beranggapan bahwa kebahagiaan Zahra hanya dapat dipenuhi dengan harta.

" Bunda " Zahra menyingkirkan kedua tangan bunda dari pipinya. Matanya menatap tegar kedua bola mata ibunya.
" Jangan pernah kau ukur kebahagiaanku hanya dari harta ! Jika sekarang bunda memang ingin melihatku bahagia seharusnya bunda tidak tega menjadikan aku sebagai taruhan ! Apa bunda tau, sebelum bunda menyampaikan semua mimpi buruk ini aku baru saja ingin memberitahu kebahagiaanku memperoleh beasiswa S2 ke Selandia Baru, tapi...tapi semua sudah sirna bun..." Zahra kembali terisak, dadanya saat ini menjadi sangat sesak dan sakit. Kepalanya terasa begitu sakit seperti ditusuk sebilah pedang. Ia sudah menyerah tidak mampu untuk meneruskan perdebatannya lagi. Semua mimpi dan harapannya sudah hancur sekarang,ia berfikir ini mungkin memang sudah menjadi takdir dalam kisah hidupnya.

Sang bunda berusaha menenangkan Zahra yang semakin meraung dalam tangisan frustasinya, tapi belum sempat ia membuka mulut, Zahra sudah mengangkat satu tangannya di atas kepala

" Sudah bunda ! Sudah cukup ! Aku sudah tidak tahan lagi ! Aku....aku....akan menerima apapun yang bunda mau, dan aku juga sudah memaafkanmu " tanpa berkata apapun lagi, Zahra segera berlari keluar dari ruang kerja, meninggalkan bundanya yang kini jatuh bertumpu di atas lantai yang dingin. Ia tidak mampu melihat apapun lagi sekarang, Sebuah kabut hitam telah menutup seluruh pikiran dan hatinya. Seluruh kebahagiaan hanyalah bualan baginya, Zahra yang dulu ceria, Zahra yang dulu selalu tersenyum dan berdiri tegar dalam menghadapi segala masalah kini sudah terkubur mati. Yang hidup dari seorang Zahra sekarang hanyalah sebuah bagian dari penderitaan dan pengorbanan yang konyol.

**********************************

Terima kasih untuk kaaylia udah ngingetin aku soal prolog, aduh jadi malu hehe.....

Husband For ZahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang