Zahra POV
Setelah kupikir-pikir untuk apa aku pergi ke Selandia Baru secara diam-diam, jika kenyataannya aku bisa pergi dengan sepengetahuan Derian karena yang kutahu pria itu pernah menerima permintaanku untuk melanjutkan kuliah di sana. Jadi sekarang aku hanya perlu memastikannya lagi, kalaupun ternyata keputusannya berubah maka tidak ada cara lain aku harus memaksakan diriku kabur darinya. Aku tahu ini salah besar buatku yang berperan sebagai istrinya, tapi mau bagaimana lagi hatiku tetap ingin menjauh dari bayang-bayang Derian. Aku butuh banyak waktu untuk berpikir, sekaligus aku ingin melihat bagaimana sikap seorang Derian yang kehilangan diriku.
Malam ini juga aku menguatkan diriku untuk duduk di depan meja makan menunggu kehadiran pria itu. Bau makanan di depanku tidak mampu mengalihkan kegundahanku menanti sosok pria yang telah membuat lututku gemetar karena takut. Detik, menit dan jam terus bergulir tapi kehadirannya belum juga nampak di pelupuk mataku.
Hingga kedua kelopak mata ini terasa semakin berat, berkali-kali aku menguap menahan kantuk. Denting jam yang keras menandakan malam yang semakin melarut. Aku merasa sudah tidak mampu menahan diriku lebih lama lagi, hingga akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamarku. Namun, saat satu kakiku sudah menapaki lantai tangga, suara mobil Derian terdengar dari luar. Membuat mataku kembali segar dan dengan semangat aku berjalan memberanikan diri menyambut kehadirannya dari balik pintu
Di dalam hati aku gumamkan hitungan mundur, dan menahan nafas saat kedua bola mataku menatap tepat pada mata sayu miliknya. Wajahnya nampak kusut karena kelelahan, dengan guratan kebingungan di tengah dahinya. Aku mencoba menarik bibirku yang kaku untuk tersenyum kepadanya. Namun, Derian tetaplah manusia yang sama, ia bahkan semakin bingung melihat tingkahku , sehingga kami berdua kini terlihat seperti dua orang bodoh yang sedang berdiri kaku tanpa tahu siapa yang akan masuk ke dalam rumah duluan.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menyambutnya masuk dan menggiringnya menuju meja makan. Kucoba berbasa-basi dengannya, tapi ia tetap saja bergeming. Hingga akhirnya ia nampak mulai tidak nyaman dengan tingkahku, dan mulai menatapku dengan tatapan bak seorang detektif.
" Apa kau masih sakit ? " Tanyanya datar sambil meneguk susu hangat yang kuhidangkan untuknya, dan aku hanya bisa menggelengkan kepalaku untuk menjawabnya. Rasa canggung dan takut masih menghinggap kuat di dalam hatiku, membuat tubuhku sedikit gemetar karena setiap kali aku tidak sengaja menatap bola matanya, semua mimpi buruk itu kembali menyambar kepalaku bagaikan kilat. Tapi aku harus tetap tampil tegar di hadapannya.
" Lalu apa tujuanmu melakukan semua ini ? "
" mmm....baiklah kalau kau memang mau aku mengatakan langsung ke intinya " Aku menghela nafas sebentar.
" Derian apa kau masih ingat ? Waktu itu saat sebelum menikah kau pernah menawarkanku beberapa permintaan, dan kau menyanggupi semuanya salah satunya tentang keinginanku untuk melanjutkan kuliah di luar negri apa aku masih diizinkan untuk melakukannya ? " Rahang Derian kelihatan mengetat saat mendengarnya, dahinya semakin berkerut tapi ia tetap diam tanpa aku bisa tahu apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
Namun, sedetik kemudian ekspresi wajahnya dan tatapan matanya kelihatan mengendur. Lalu, dengan santai ia meneguk habis susu hangat buatanku, dan berdiri hendak beranjak meninggalkanku.
" Tunggu, Derian aku mohon berikan keputusanmu ! " Aku mencoba menghadang langkahnya dan ia membalik tubuhnya untuk menatapku.
" Keputusan apa ? " tanyanya
" Aku mohon Derian, jangan kau persulit diriku lagi "
" Baiklah, akan ku buat mudah untukmu ! Sehingga kau tidak perlu repot-repot kuliah ke Selandia Baru "
KAMU SEDANG MEMBACA
Husband For Zahra
Romantizm" bunda aku memang selalu memimpikan diriku untuk menikah, tapi tidak dengan cara seperti ini bu, aku mohon....sadarlah bunda..ini tidak baik...ini sama saja kau menjual diriku !!!" Zahra menangis terisak-isak suara gerungan tangisannya terdengar be...