Some Other Days

216 22 3
                                    

Ravi berdiri menunggu bus di halte. Namun setiap bus berhenti, dan orang-orang di sampingnya mulai berebut naik, tak ada niat sedikit pun untuk mengikutinya. Pria bersurai biru itu terus berdiri bahkan sampai hanya ada dirinya disana.

Tuk... Ia menendang kaleng soda.

Ravi memandang langit kelabu. Beberapa hari ini cuaca tak bersahabat, dan itu membuat udara lumayan dingin. Ia menjejalkan kedua tangannya di saku celana, menggigil.

"Permisi, numpang ngamen kak..." seorang bocah lelaki tau-tau sudah berdiri di depan Ravi. Ia memainkan gitar yang kebesaran bagi ukuran tubuhnya, tapi walau begitu tetap semangat bernyanyi dengan suara cempreng nya.

"Gue gak punya uang." sahut Ravi. Kalimat singkat itu membuat si bocah berhenti bernyanyi dan menatap Ravi dengan sebal. Tanpa kata-kata dia berlalu dari hadapan Ravi, membopong gitar tua nya.

"Eh... Bentar, gue kasih uang kalo lo pinjemin gue gitarnya." Kata Ravi sambil menyodorkan selembar uang won. Bocah itu berbalik dan tersenyum lebar, memperlihatkan gigi ompongnya.

Ravi menarik gitar yang di sodorkan si bocah kecil. Ia duduk di bangku panjang halte sambil memangku gitar.

"Kak.. Buat apa gitar saya?" tanya si bocah penasaran. Dia berlari menghampiri dengan kaki kecilnya kemudian duduk di samping Ravi.

Jreeeng. Ravi memetik gitar dengan semangat, membuat bocah ompong di sampingnya tersentak. "Jangan terlalu kasar memainkannya, kak! Itu gitar saya satu-satunya."

Ravi melirik sang bocah. "Iya, bawel."

Pria itu mulai memetik gitar tua milik sang bocah. Kelima jemarinya lihai menari di antara senar-senar tipis. Irama yang halus dan santai ala gitar akustik memanjakan telinga bagi siapapun yang mendengarnya.

Si bocah pun terkejut dengan kemampuan bermain gitar Ravi. Ia pikir pria sombong dan bertampang preman itu hanya sok-sok an meminjam gitarnya. Sekarang bocah itu melongo, mulutnya menganga lebar. Begitu Ravi selesai bermain dan menyodorkan kembali gitarnya, si bocah malah bertepuk tangan dengan menggebu-gebu.

"Kak! Itu hebat sekali! Apakah lagu itu ciptaan kakak sendiri?"

Ravi menggeleng. "Mana punya waktu gue ngarang lagu."

"Bakat kakak gak cocok ya sama tampangnya." ledek sekaligus puji sang bocah. Ia mengusap hidungnya yang berair sambil nyengir.

"Heh, kerdil. sok tau banget lo. gini-gini juga gue lumayan." sungut Ravi. Ia mengacak-acak rambut si bocah.

"Gimana kalo besok kakak ikut saya ngamen? Pasti kita bakal dapet banyak uang." si bocah melompat dari tempat duduknya.

"Ogah."

"Kalo kakak ikut, saya bakalan minjemin kakak gitar selama yang kakak mau. Gak usah bayar." bujuk si bocah.

"Gue punya gitar yang lebih bagus di rumah." sombong Ravi.

"Yee.. Kalau gitu kenapa tadi kakak pinjam gitar saya?"

"Karena gue iseng?" jawab Ravi asal.

"Yaudah, terserah kakak." si bocah menarik gitar dan menggendong dengan kedua lengan kurusnya. "Tapi kalo berubah pikiran, besok datang saja ke sini."

Ravi menatap bocah kecil itu berlalu. Dalam hati Ravi mengakui, walaupun anak kecil itu terlihat tegar dan ceria namun sebenarnya ia sedang terpuruk.

Pakaian lusuhnya, badan kerempengnya, peluh menetes di wajah kumalnya. Anak sekecil itu harus mencari uang sendiri? Sungguh malang nasibnya.

Namun yang membuat Ravi salut, seberapa buruk hidup bocah itu ia tetap berusaha tersenyum dan menikmati hidup. Apakah selama ini Ravi sudah banyak bersyukur dan menikmati hidup? Entahlah.

(On Hold) Lovely GengstaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang