BAGIAN 14

2.6K 283 19
                                    

A/N: Buat yg setia baca cerita abal ini makasih banyak. Semoga kalian suka trs sama ceritanya. Dan buat yg jadi silent readers, please hargai cerita ini. Dengan kalian yang ninggalin jejak vote&comments itu udh berharga bgt. Udah sekian. Makasihhh.



Enjoy!




Malam.

Tak ada bintang. Hanya langit hitam yang membentang luas disertai bulan yang timbul meneranginya. Namun, kota itu masih terlihat ramai. Gemerlap lampu terang dan gedung-gedung yang menyala membuat bintang seakan tak berarti lagi untuk hadir.

Justin berjalan gontai menaiki undakan tangga kecil di teras rumahnya. Pria itu tengah hancur dengan terlihat urakan, berandal, bebal, dan berantakan. Beanie yang terpasang di kepalanya seakan menjadi seonggok benda yang menempel asal. Kaus dan jeansnya terlihat kotor oleh noda tanah dan bercak darah yang samar. Dan, yang paling mengerikan, wajahnya penuh luka lebam disertai darah menyedihkan tampak mengering di sekitar batang hidung, lubang hidung, dan sudut bibirnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh lelaki itu. Yang jelas, itu bukan suatu peristiwa yang menyenangkan. Bahkan mungkin hal mengerikan yang baru ia perbuat.

Pintu berganda berwarna putih mulai ia buka. Tanpa berniat mengetuk pintu itu lebih dulu meminta dibukakan. Justin pikir, untuk apa ia melakukan itu? Lagipula, rumahnya selalu sepi dan lenggang setiap hari. Kosong. Tak ada kehangatan seperti makna 'rumah' dalam artian yang sesungguhnya. Jika Justin memiliki tempat tujuan lain, mungkin ia akan memilih itu ketimbang rumahnya sendiri.

Justin menghentikan langkahnya di ambang pintu ketika menemukan sepasang manusia yang duduk berdampingan di atas sofa ruang tamu. Pria dan wanita, mereka mendongak menyambut kedatangan Justin dengan raut tidak suka. Tanpa terkejut melihat keadaan Justin yang penuh luka, sama sekali.

"Whoa, ada tamu. Aku tak menyangka kalian akan berkunjung secepat ini, Dad and..bitch or slut? Maybe?"

Justin menyeringai tajam sembari mengibaskan tangannya pelan di depan wajah. Rasa perih seketika menyerang sudut bibirnya yang sedikit robek. Namun, persetan. Ia terlalu muak menatap kedua orang itu dengan penuh dendam. Rasa benci dan amarah seketika menjalar hingga ke dalam kakinya yang kini kaku untuk melangkah. Merasa berat untuk mendekat ke arah sang Ayah dan wanita yang duduk di sampingnya. Ibunya mungkin? Tidak. Bukan. Justin tidak sudi mengakuinya.

"Jaga bicaramu!" Suara bariton yang terdengar begitu berat menggema di sepenjuru ruangan. Kebekuan dalam nada bicara sang ayah membuat Justin semakin tak sanggup untuk melangkah.

Asing. Justin merasa asing pada sosok ayahnya saat ini. Nada bicara yang terdengar seperti mengancam seorang musuh besar. Serta tatapan benci yang ikut dilayangkan oleh sang ayah. Semua itu semakin membuat Justin merasakan sesuatu yang sakit menikam telak jantungnya. Rasa sakit disekujur tubuhnya dan lebam di wajahnya seakan tak berarti apa apa untuk saat ini. Justin seakan ditampar ke dalam suatu kebenaran dan kenyataan bahwa semuanya sudah berbeda. Semua sudah berubah.

"Apalagi yang kau lakukan!? Bisakah kau berhenti!? Kau selalu merusak nama baik keluarga Perkins."

Justin berdecak. "Kau juga merusak nama baik keluarga kita. Dan kurasa, perbuatanmu lebih hina dariku."

Daniel--ayah Justin, seketika bangkit dari duduknya dengan wajah menahan geram diikuti wanita berambut hitam di sampingnya yang ikut bangkit seraya mengusap pundak Daniel. Membuat Daniel mendengus, memejamkan mata sesaat, lantas kembali mengarahkan kedua matanya pada Justin dengan tajam.

SOMETIMES [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang