Bagian 19
Langkah demi langkah terasa begitu berat saat Allegra menapaki koridor sekolah. Ia menghela napasnya. Dengan kondisi yang cukup membaik, Allegra memaksakan diri untuk tetap bersekolah. Meski kini hatinya yang tengah merasa sakit.
Allegra merasa seperti gadis melankolis yang menyedihkan. Bagaimana pun ia menahan atau berusaha melupakan kejadian kemarin sore, ia tidak bisa. Sesak itu masih terasa, sakit itu masih terasa. Tolong hapuskan pengakuannya mengenai rasa cinta pada Harry yang teramat dalam. Ia menyesal telah mengakuinya jika sesakit ini.
Dan sekarang, semoga Allegra tidak bertemu Harry. Ia tidak sanggup.
Allegra melangkah menuju lokernya tanpa memperdulikan tatapan orang-orang yang selalu mengawasinya. Di sana masih terdapat penyok samar bekas tinjuannya dulu. Melihat itu, Allega mendesah. Apa ia harus meninju lokernya lagi? Melepaskan semua amarahnya, keresahannya, dengan itu?
"Good Morning! What's up!?"
Allegra berjengit, ia melirik seseorang di sampingnya yang mengucapkan selamat pagi dengan begitu ceria.
Dan seseorang itu, Jaden.
"Mau apa kau?" Tukas Allegra ketus seraya membuka lokernya.
Jaden terkekeh. Alih-alih menjawab, ia menyandarkan tubuhnya di sisi kanan loker Allegra. Lalu matanya memperhatikan gerak-gerik gadis itu lamat-lamat. Allegra yang merasa jengah diperhatikan, lantas menoleh. Ia mulai memamerkan wajah bengisnya.
"Pergi kau negro! Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu!" Cercah Allegra tajam sembari mengangkat buku paket yang tebal tinggi-tinggi.
Alih-alih takut, Jaden terkekeh. Lagi. Mungkin ia sudah terbiasa melihat kelakuan berang gadis itu. "Santai. Apa kau tidak bisa santai? Kau selalu marah-marah."
"Tutup mulutmu." Allegra menggeram. Lantas kembali fokus mengorek isi lokernya.
Hening. Cukup lama. Jaden yang menunggu Allegra selesai nyatanya masih sibuk mengorek isi loker. Ia pun bersiul sekilas, lantas menaikkan satu alisnya.
"Alle?" Ujar Jaden. Oh, jarang sekali ia memanggil Allegra seperti itu.
Allegra berdeham menyahut.
"Kau sedang sedih 'ya?" Tanya Jaden sembari menyeringai.
Seketika Allegra menghentikan kegiatannya sejenak, ia menghela napas kesal. Berusaha untuk tidak terpancing oleh si sialan Jaden. Oh, bahkan Allegra muak memandang rambut rastanya. "Bukan urusanmu."
"Cih, kau ini." Sungut Jaden sembari mengedikkan bahunya. Bibirnya mencebik, seakan mencemooh Allegra. Sontak Allegra mendelik, sebal. Ia bersumpah akan meninju wajah Jaden jika lelaki sialan itu berulah lagi.
Namun tiba-tiba, Jaden beranjak dari posisinya. Tangannya bergerak meraih ransel miliknya. Allegra mengernyit seraya memperhatikan. Ia pun menutup lokernya setelah mengambil beberapa buku.
"Ini." Jaden menyodorkan paper bag berukuran sedang. "Dari Justin."
Allegra membenamkan bibirnya. Setitik binar timbul dalam iris matanya. Entah Jaden bisa melihatnya atau tidak, tapi Allegra berusaha menutupinya dengan rambut yang membingkai wajahnya. Allegra menerima paper bag itu dengan hati yang gemetar. Pertemuan terakhirnya dengan Justin terbilang cukup baik. Jadi, Allegra merasa..hangat.
Allegra mencium aroma oatmeal kala menerima paper bag itu. Ia juga merasakan sesuatu yang hangat di dalam paper bag itu. Sontak Allegra kembali mendongak pada Jaden, menatapnya bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOMETIMES [DISCONTINUED]
Fiksi PenggemarAllegra Stewart. Gadis bengis, rakus, aneh, angkuh, dan menyebalkan. Wajahnya juga tidak terlalu cantik. Yaa..walaupun otaknya cukup pintar. Tapi, siapa yang menyangka jika gadis sejenis itu bisa diperebutkan oleh dua cassanova tampan di sekolahnya...