Bagian 29
Ia melihatnya. Ia melihatku.
Tubuhku terasa tersengat dan dibekukan sekaligus. Tak bisa kuambil alih sedikit pun. Iris matanya kini memancarkan sirat yang tidak kusukai, begitu dalam sekaligus menyakitkan.
"Justin,"
Dan baru saja aku mencoba melangkahkan kaki, ia berbalik lalu berlari. Membiarkan sebuket bunga yang jatuh begitu saja. Membiarkan aku yang meraung-meraung memanggil namanya tanpa henti. Justin, Justin. Nyatanya semua sia-sia. Aku tak tahu harus melakukan apa, terlebih, ketika Harry menahan tanganku untuk pergi.
Author's View
Piazza San Marco kini tampak ramai dikunjungi, baik oleh turis asing maupun rakyat Italia asli. Musik klasik yang dimainkan di tengah panggung tampak dinikmati oleh para pengunjung dengan segelas kopi hangat di meja masing-masing. Malam yang mereka habiskan terasa begitu indah. Ya, malam yang indah.
Dan semua itu jauh dari ekspektasi Allegra. Apa yang ia harapkan soal kesenangan di Piazza San Marco sama sekali tak ia dapatkan. Pikiran dan raganya seakan melayang jauh, berkelana tanpa berpulang. Membuat sosok Allegra hanya teronggok lemas di atas kursi tanpa menyentuh kopi hangat yang tersedia sama sekali.
"Alle," gumam Cara sambil menatap Allegra penuh iba. Ia tahu apa yang Allegra alami, apa yang membuatnya sedih. Tapi, seperti yang sudah diketahui, ia tak bisa berbuat banyak.
"Minumlah, nanti kopimu dingin." Selena menambahi dengan cicitan kecil. Takut jika Allegra tiba-tiba bertindak diluar dugaan dan menerkamnya. Pikiran yang konyol, tapi Selena sanggup membayangkannya bila itu terjadi.
Tanpa menghiraukan bujukan teman-temannya, Allegra bungkam. Ia hanya memandang kosong jemarinya sendiri yang terletak di atas meja, lalu memainkannya dengan halus. Ia benar-benar kalut dan benci mengalami hal sialan seperti ini. Setiap detik ulu hatinya terasa berkedut memancarkan rasa sakit. Pikirannya terus berkelana dan merutuki kesalahannya sendiri. Seperti, mengapa harus seperti ini? Mengapa harus dia yang mengalami hal menyakitkan seperti ini? Dan mengapa Allegra menjadi begitu... perasa? Mengapa Allegra harus kebingungan dalam menyikapi cinta? Holy crap, rasanya ia ingin menjatuhkan diri ke dalam jurang.
Dan Allegra bangkit secara tiba-tiba dari duduknya saat sudut matanya menangkap sosok Justin yang tengah berjalan cepat ke arah gerbang keluar kawasan Piazza San Marco. Tanpa peduli seruan teman-temannya yang banyak omong, Allegra berderap melewati meja-meja dan menyusul Justin. Dan tanpa peduli suasana ramai yang menyenangkan di sekitarnya, Allegra berteriak sekencang-kencangnya, tidak mau jika Justin terburu pergi dari pandangannya.
"JUSTIN!"
Dan Justin berhenti, beberapa pengunjung yang mendengar teriakan keras Allegra sontak memandangnya bingung. Lagi-lagi Allegra tidak memedulikan reaksi orang lain. Alih-alih ia berlari menyusul Justin yang kembali melanjutkan langkahnya.
"Justin!" seru Allegra lagi tanpa berhenti berlari. Justin sama sekali tidak menoleh, namun Allegra tahu lelaki itu mendengar seruannya.
"Justin! Tunggu!"
Allegra langsung mencekal tangan Justin saat itu juga. Ia berhasil menyusul Justin dengan berlari secepat mungkin dan mencegat lelaki itu agar tidak pergi. Justin terdiam di tengah langkahnya, dengan tangan yang terjaga oleh jemari Allegra yang menautnya. Tangan Justin terasa dingin, dan seketika itu Allegra gusar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOMETIMES [DISCONTINUED]
FanfictionAllegra Stewart. Gadis bengis, rakus, aneh, angkuh, dan menyebalkan. Wajahnya juga tidak terlalu cantik. Yaa..walaupun otaknya cukup pintar. Tapi, siapa yang menyangka jika gadis sejenis itu bisa diperebutkan oleh dua cassanova tampan di sekolahnya...