Bagian 38
Seperti pepatah yang sering didengar, sesuatu pasti akan kembali pada tempatnya. Manusia akan kembali pada Penciptanya. Jika kita berkelana cukup jauh, selalu ada tempat untuk kembali. Selayaknya sebuah rumah yang selalu terbuka dan menarik kita dalam titik pengembalian. Sejauh apapun itu, selama apapun itu.
Mungkin, sekarang, pepatah tersebut dialami pula oleh mereka. Semua seakan tertarik dalam titik pengembalian mereka. Allegra kembali pada jatidirinya yang lama. Dingin, tertutup, bengis, serta menyeramkan. Dia kembali fokus pada pelajaran, terus berkutat dengan jalur akademis tanpa sedikit pun lengah. Sudah satu minggu sejak pertemuan terakhir mereka di koridor, Allegra dan Justin tidak pernah bersama lagi. Tidak pernah.
Mereka seakan kembali, pada titik pengembalian.
Justin menepati janjinya untuk tidak mengejar Allegra terlalu jauh, mengira bahwa ia tidak mau dikejar dan diperjuangkan. Sementara Allegra menganggap Justin memang pengecut yang tidak bisa berjuang lebih keras lagi untuk seorang gadis. Dan akhirnya, mereka kembali. Kembali pada sesuatu yang lama. Seperti de javu.
Kini Allegra tengah menghabiskan jam istirahat di taman belakang sekolah. Ia membelenggu dirinya sendiri, bersandar di batang pohon paling tua sambil mengemut lolipop strawberry. Bibirnya bergerak-gerak untuk mengecap rasa asam dari lolipop itu, kedua matanya terpancang pada buku tebal yang terbuka di atas pangkuan. Allegra mempelajari rumus-rumus Kimia di buku tersebut dengan penuh konsentrasi. Dunianya seakan hanya terdapat pada buku Sains dan satu keping lolipop.
Meski sesekali batinnya merasa resah.
Allegra mengerjap, berusaha mengenyahkan pemikiran-pemikiran tidak penting di kepalanya. Beberapa hari belakangan ini Allegra mengikuti kelompok Sains untuk kegiatan tambahan, dan ia sudah ditunjuk untuk mewakilkan sekolah di olimpiade Sains bulan depan. Jadi Allegra tidak mau gagal, ia berusaha mempersiapkan diri dan fokus sejak dini.
Dan sejujurnya, itu hanyalah pengalihan semata.
Dengan belajar, Allegra dapat mengabaikan kehidupannya.
Saat tengah larut dengan rumus-rumus dan segala bedebahnya yang menyulitkan, Allegra mendengar bunyi gesekan rerumputan di sekitarnya. Ia kembali mengerjap, berusaha untuk tidak mengamuk pada seseorang yang telah berani membuyarkan konsentrasinya. Gadis itu mendengus sebentar, pandangan tajamnya lantas beralih pada seseorang di sampingnya.
Harry Styles.
Allegra tidak terkejut sama sekali melihat eksistensi Harry yang duduk di sampingnya sambil membawa sebuah gitar. Laki-laki bermata hijau itu menatap Allegra, memandangnya cukup lama. Desauan angin menerbangkan helaian rambutnya yang ikal, diikuti senyuman kecil di bibir penuhnya. Sementara Allegra, dengan rambut pendeknya, hanya membalas tatapan laki-laki itu tanpa arti. Tanpa senyum. Dan ia sama sekali tidak bicara.
Melihat respon Allegra, akhirnya Harry menyerah. Lelaki itu menghela napas, lantas menunduk untuk beralih pada gitar di pangkuannya. Jemari kirinya bergerak menekan-nekan kunci nada diikuti jemari kanannya yang memetik senar-senar dalam gitar tersebut. Hening yang membentang di antara mereka membuat alunan gitar tersebut terdengar lebih jelas, diikuti desauan angin yang berembus pelan. Menemani kesepian mereka.
Another summer day
Has come and gone away
In Paris and Rome
But I wanna go home, mmm
May be surrounded by
A million people I
KAMU SEDANG MEMBACA
SOMETIMES [DISCONTINUED]
FanfictionAllegra Stewart. Gadis bengis, rakus, aneh, angkuh, dan menyebalkan. Wajahnya juga tidak terlalu cantik. Yaa..walaupun otaknya cukup pintar. Tapi, siapa yang menyangka jika gadis sejenis itu bisa diperebutkan oleh dua cassanova tampan di sekolahnya...