SLB - 7

141 8 0
                                    

"Pertigaan di depan ambil kiri, Om!"

Ada gunanya juga ternyata Tante Rahma membawa Nina ikut ke rumah anaknya. Bisa membantu menunjuk jalan karena ia belum pernah bertandang ke rumah anaknya yang baru semingguan pindah ke Jakarta.

"Nah, Sampai!" seru Nina senang begitu sudah sampai di depan rumah yang dituju.

"Asaaaaaa" teriak Nina gemas begitu melihat bayi yang menggapai-gapaikan tangannya ke udara dalam gendongan ibunya.

Si bayi yang merasa dipanggil namanya semakin berceloteh tak karuan sambil sesekali tergelak begitu Nina semakin mendekat dengan suara langkah kakinya yang menghentak-hentak menimbulkan suara gaduh.

Sang Nenek dan kakeknya hanya tersenyum melihat kelakuan anak tetangganya itu yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.

"Sini sama Opa, jagoan! nanti ketularan cerewet kaya tante Nina" sela om Cahyo yang menginterupsi keasyikan Nina yang tengah bercanda bersama Asa.

"Oooom yoyoookk!" serunya tak terima dibilang cerewet. "Lagian aku maunya dipanggil Aunty kok bukan tante" tambahnya dengan wajah cemberut.

"Eka kemana, Nis?" tante Rahma bertanya karena tak dilihatnya sosok menantunya. Mengabaikan perseteruan sang suami dan Nina

"Lagi pergi, Ma benerin pompa aquarium. kemarin habis beli tapi tiba-tiba nggak nyala"

"Sama adiknya?" tanya tante Rahma lagi yang dijawab anggukan kemudian bersama-sama masuk ke dalam rumahnya.

Nina sedang terbahak sendiri melihat kelakuan Asa dengan mainannya di depan tv. Bayi itu semakin terlihat sangat lucu dan menggemaskan dengan tingkah laku dan celotehannya.

Suara deru mobil terdengar dari depan rumah itu.

"Dek, ayah datang dek! Panggil ayah dek!" seru mbak Nisa pada Asa.

Asa yang merasa dipanggil menolehkan kepalanya mencari sosok sang ayah. Bayi itu bertepuk-tepuk tangan sambil memanggil ayahnya

"Haah... yahh.. yyaayahh"

Nina semakin tertawa gemas melihat tingkah laku Asa. Namun tawanya seketika berhenti saat melihat sosok ayah Asa. Sosok ituu...

Tiba-tiba ia merasakan kerinduan akan sosok lelaki di masa lalunya. ingatannya kembali pada pesan whatsapp kemarin. Tak ada lagi pesan yang masuk dari orang yang sama. Menyerah, eh karna pertanyaannya ia gantung tanpa jawaban? segitu saja? padahal ia sendiri tak pernah menyerah 7 tahun tetap menautkan hatinya padanya. Oh, mungkin memang dirinya yang bodoh karna terus berharap padahal sesungguhnya tidak ada sesuatu yang mengikat antara mereka untuk terus saling menautkan hati.

"...lewat pintu garasi sekalian masukin mobil"

"Nina, nggak sholat?"

Lamunannya buyar mendengar suara samar mas Eka yang tengah berbicara dengan mbak Nisa serta suara mengingatkan dari tante Rahma. Memang sedari tadi ia belum sholat ashar saat berangkat dari rumah.

"Astaghfirullah!" serunya sembari beranjak menuju mushollah di bagian belakang dekat dapur rumah itu.

Melihat seorang laki-laki yang tengah melakukan shalat, Nina segera berdiri sejajar tepat dibelakangnya dan memberi isyarat dengan berdehem sebagai tanda ikut berjamaah menjadi makmumnya. Laki-laki itu mengeraskan takbir intiqalnya pada gerakan sholat selanjutnya tanda bahwa ia telah menjadi imam dan keduanya berjamaah.

Dalam sholatnya Nina sama sekali tak menyadari suara sang imam. Hingga saat imam telah selesai sholatnya, ia masih melanjutkan sholatnya karena tertinggal 1 rakaat. Imam itu masih tetap di posisinya saat Nina telah menyempurnakan semua rakaat sholatnya.

Matanya membelalak begitu ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya dan sang imam berbalik menghadapnya.

Abimanyu Nurasta Prayoga!

Sesaat tatapan keduanya saling beradu menyiratkan kerinduan yang sama. Berbeda dengan Bima yang mengukir senyumnya, Nina justru menundukkan pandangannya. Segera melepas mukenahnya dan berlalu dari mushollah itu.

Sungguh Nina benar-benar ingin lebih lama memandang sosok yang sekarang jauh lebih matang daripada sosoknya yang dulu itu. Tapi logikanya justru berhianat dengan segera pergi. Setelah sekian tahun tak bertemu ia benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa. Bersikap dengan berbicara lewat pesan ternyata lebih mudah dari pada bertemu mendadak karna yang ada hanya mulut yang selalu terkunci rapat.

Jika tadi Nina terlihat lebih aktif bermain dengan ceria bersama Asa, maka kali ini ia menjadi lebih pendiam dengan hanya sesekali tertawa melihat tingkah menggemaskan Asa. Sesekali ia terlihat melamun sehingga Asa yang sedari tadi berada di depannya di karpet depan tv kini sudah berada di pangkuan sang kakek tanpa disadarinya.

"Nggak makan?"

Suara yang begitu dirindukannya mengalihkan pandangannya pada Bima yang entah kapan sudah duduk di sofa di belakangnya dengan sebuah piring berisikan nasi dan soto Ayam.

"Iyaa" jawabnya pelan.

"Jangan kebanyakan melamun nanti kesurupan. Ambil makan gih!" suruh Bima dengan senyum khasnya.

Baru saja Nina akan beranjak, suara tante Rahma terdengar dari arah dapur menyuruhnya makan.

"Nina, makan dulu sayang!"

"iyaa, Tante"

Saat sampai di meja makan kecil yang hanya terdiri dari 4 kursi itu, semua kursinya sudah terisi penuh. Pantas saja jika Bima makannya di depan tv. Jadi, dengan sadar diri Nina kembali ke sofa di depan tv begitu sudah mengambil piring dan nasinya. Posisi Bima yang duduk tepat di tengah sofa yang hanya muat untuk 2 orang membuatnya memilih untuk duduk di karpet saja daripada ia harus meminta Bima menggeser duduknya.

Bima yang menyadari kegelisahan Nina segera beranjak dan menawarkan untuk duduk di sofa.

"Duduk di atas aja jangan di bawah. Aku udah selesai kok" ucap Bima setelah lama melihat Nina berdiridan akhirnya memilih duduk di karpet.

Padahal Nina tahu bahwa makanan di piring Bima masih ada dan Bima belum menyelesaikan acara makannya. Nina tidak mau Bima berfikir mengusirnya secara halus dari sofa. Jadi sebelum Bima beranjak Nina tanpa sadar menarik ujung celana Bima dan mendongakkan kepalanya melihat Bima.

"Nina nggak apa duduk di bawah. Kak Bima tetep disitu" ucapnya

"Aku bisa geser. Kamu bisa duduk di sofa juga. Kalo kamu nggak mau di sofa, aku di belakang aja makannya kalau-kalau kamu keganggu" ucap Bima lagi

Nina menggeleng keras dan dengan terpaksa tapi mau akhirnya Nina duduk di sebelah Bima. Sesekali Nina akan melirik ke arah Bima sebelum menyuapkan sendoknya ke dalam mulut.

"Reno apa kabarnya?" tanya Bima basa-basi. Laki-laki itu sudah selesai dengan makannya tapi masih enggan beranjak untuk segera menaruh piring kotornya di dapur.

"Memangnya kakak nggak pernah kontak-kontakan sama kak Reno? kak Reno kerja di batam."

Bima menggeleng "Kalo kakak bisa menghubungi Reno, kakak akan menghubungi kamu dari dulu bukannya baru kemarin" lanjutnya kali ini dengan jelas menatap Nina

Nina menundukkan tatapannya pada nasi di piringnya yang masih sisa seperempatnya. Merasa malu dipandangi secara intens seperti itu.

"Ma...maksudnya?" tanyanya gugup

"Habisin dulu makannya kakak mau naruh piring kotor ke dapur" ucap Bima sambil menunjukkan piringnya yang sudah kosong.

Sementara Nina terus mencerna maksud ucapan Bima sebelumnya setelah Bima berlalu ke dapur.

***

10-12-2015 / 20:30 WIB

Second Love BlossomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang