SLB - 11

151 10 0
                                    

Bima bukannya tak menyadari akan kedekatan mereka beberapa hari ini yang tanpa status pasti. Lambat laun gadis di sampingnya itu pasti akan menagih kata kepastian akan hubungan mereka. Ya, perempuan selalu butuh alasan pasti apalagi jika menyangkut urusan hati.

Ia juga menyadari tak sekalipun ucapan cinta keluar dari mulutnya untuk gadis di sampingnya itu. Padahal ia tahu, meskipun lirih tapi terdengar jelas di pendengarannya  gadis di sampingnya itu pernah mengucapkan kata sayang padanya. Setelah apa yang didengarnya tadi mengenai obrolan Nina dengan mbak Nisa di dapur, tiba-tiba ada sesuatu di benaknya yang belum sempat ia tanyakan pasti kejelasannya pada gadis yang kali ini sedang menautkan jemarinya dengan tangan kirinya yang bebas dari setir kemudi.

"Revan, siapa?" tanyanya yang langsung mendapatkan tatapan kaget dari Nina

Nina jelas tahu dari mana Bima bisa menyebutkan nama Revan. Hanya saja ia kaget tiba-tiba Bima menanyakan siapa Revan.

"Temen. Kenapa?" Jawab Nina masih menggenggam erat tangan kiri Bima.

"Suka main ke rumah?" tanya Bima lagi layaknya sedang mengintrogasi Nina

"Dia mah orangnya semau dia. Tiba-tiba aja suka nongol di rumah. Ga diundang, ga permisi!"

Ada nada sebal yang ditangkap Bima ketika Nina mengutarakan sikap Revan.

"Tapi heran, Mama suka sama dia. Padahal juga kita kenal baru 2 minggu" tambah Nina

Bima sontak menolehkan pandangannya pada Nina. Sama seperti dulu saat mendengar kedekatan Nina dan Oka yang walaupun hanya sekedar sahabat, rasa khawatir dan tidak suka langsung menyelimuti hatinya. Baru kenal 2 minggu? berarti pas nganterin mbak Nisa pindah baru kenal sehari?. Laki-laki seperti apa saingannya ini hingga bisa menarik perhatian mama Nina? batinnya

"Kok bisa?" tanya Bima lagi dengan nada yang teramat biasa dan terdengar tenang walau sebenarnya hatinya kini bergejolak cemburu dan tidak suka

"Gara-gara Sinta, dia yang ngenalin. Emang bener sih Revan beda sama cowok-cowok yang selama ini dia kenalin ke Nina. Cuma dia yang berani nyelonong ke rumah padahal Nina belum kasi ijin. Eh tau-tau udah akrab aja sama Mama" cerita Nina polos yang semakin membuat Bima cemburu dan penasaran seperti apa Revan yang sebenarnya.

"Mama aja suka sama dia, masa kamu nggak?" tanya Bima ingin tahu pasti perasaan gadisnya itu pada Revan.

"Ya suka sih---" ujar Nina menggantung dan kontan mendapat tatapan kaget Bima. "Kalo ngobrol sama dia, dia selalu bisa ngimbangin. Jadinya nyambung aja. Itu mungkin yang bikin Mama suka sama dia. Ibu-ibu kan suka banget kalo diajak ngobrol" Nina tertawa mendengar ucapannya sendiri

"Tapi banyakan suka sebelnya sih kalo sama dia. Kalo dia udah ke-PD-an dan jail sama Nina, suka bikin males" ujar Nina lagi dengan bibir cemberut mengingat Revan yang suka menggodanya.

Kali ini Bima yang terkekeh mendengar penuturan dan ekspresi cemberut Nina saat menceritakan tentang Revan.

Diulurkannya tangannya untuk mengacak lembut ujung kepala Nina. "Kakak sayang sama kamu" ucapnya selirih suara Nina saat mengucapkan kata yang sama padanya beberapa hari kemarin.

"Nina juga!" sahut Nina begitu mendengar ungkapan sayang Bima. Keduanya sama-sama tertawa akan sahutan spontan Nina

Kembali Bima menautkan jemari mereka dan menatap Nina dengan senyum manisnya yang selalu membuat Nina merasa hangat saat menatapnya.

"Jadi, kita apa?" Lirih Nina

Seperti yang Bima duga sebelumnya, Nina pasti akan menanyakan kepastian status hubungan kedekatan mereka. Dan setelah mendengar, melihat serta merasakan bahwa perasaan Nina yang dulu padanya masih tercurah hanya untuknya, tidak ada alasan bagi Bima untuk tak mengikat hubungan mereka dengan status yang jelas.

"Apapun namanya yang sedang kamu pikirkan sekarang, ya itu status hubungan kita" ucap Bima pasti dengan mengecup lembut tangan Nina dalam genggamannya.

Yang Bima yakini, dia akan mempertahankan hubungan mereka apapun yang terjadi. Kali ini ia tidak akan ceroboh seperti dulu yang akan mudah cemburu lalu kemudian membuat hubungan mereka akhirnya berakhir. Hanya cukup percaya bahwa Nina selalu menjaga hatinya hanya untuknya.

Nina berkaca-kaca dalam temaramnya ruangan mobil yang hanya terbiaskan lampu jalanan. Ia mengangguk bahagia akan status hubungan keduanya sekarang.

***

"Kak Bima ini temen sekelas sama tim basketnya kak Reno waktu SMP dulu, Ma... Yah... "

Berbeda saat mengenalkan Revan pada Mamanya, raut wajah Nina tampak berseri dan terlihat sangat bahagia saat mengenalkan Bima. Naluri keibuan Mamanya bisa membaca bahwa laki-laki yang sedang diperkenalkan putrinya itu punya arti spesial di hati putrinya. Sama seperti dulu saat putrinya itu pulang sekolah dengan wajah ceria lalu kemudian memeluknya dan bertanya kapan dirinya boleh berpacaran, seperti itu pula mamanya menyadari bahwa putrinya sedang jatuh cinta.

"Oo, iya?" Mama Nina tampak kaget "Reno memang jarang dulu bawa temennya main kesini. Tante hampir nggak kenal sama temen-temen SMP Reno. Paling sering ya temen-temennya Nina yang main kesini sampai sekarang" ujar mamanya

"Kerja dimana sekarang?" suara sang Ayah kini mendominasi pertanyaan untuk Bima

"Saya kerja di Elco Arch, Om yang cabang Surabaya. Disini lagi ikut proyek dari kantor pusat selama sebulan"

"Konsultan arsitek?" tebak Ayah Nina yang tak asing dengan nama perusahaan itu. Salah satu perusahaan konsultan arsitek terbaik yang mempunyai beberapa cabang di kota-kota besar di Indonesia. "Lulusan mana?"

"Saya lulusan ITS, Om" jawab Bima tegas

Giliran ayah Nina yang mengangguk-angguk mendengar jawaban Bima. Pantas saja, karna memang setahu ayah Nina hanya lulusan PTN terbaik yang bisa bekerja di perusahaan itu.

Ada sedikit rasa iri dalam hati Ayah Nina karna dulu menjadi seorang arsitek adalah impiannya yang tak terwujud. Tetapi, karena keinginan orang tuanya yang ingin melihat putranya menjadi seorang insinyur mesin akhirnya ia memilih jurusan teknik mesin demi mewujudkan impian orang tuanya menjadi insinyur mesin seperti sekarang. Tak ada penyesalan memang, karna dengan tittle nya yang lulusan insinyur mesin ia bisa bekerja sebagai general manager di salah satu BUMN yang bergerak dalam industri listrik dan bisa memberi kehidupan yang layak untuk keluarganya.

"Kak Bima ini adiknya mas Eka loh, Ma... suaminya mbak Nisa, menantunya tante Rahma" ucap Nina memecah lamunan Ayahnya akan masa-masa dulu saat lebih memilih teknik mesin daripada arsitek.

"Loh iya? masyaAllah... sempit sekali yaa dunia ini. Adik iparnya mbak Nisa ternyata. Pantas kok wajahnya Mama seperti nggak asing liatnya. Mirip sama mas Eka memang" ujar mamanya

"Temennya kak Reno, Adik menantunya tante Rahma, Siapanya kamu, dek?" Goda ayahnya mengalihkan perhatian. Memang terkadang Ayahnya itu tak kalah usil daripada kakaknya, Reno yang kelakuanya sebelas-duabelas suka menggoda Nina.

"Ayaaahhh apasih" rengeknya malu digoda di depan Bima. Pipinya yang merona merah ia sembunyikan di pelukan ayahnya yang sedari tadi duduk diantara ia dan mamanya. Sementara  Bima yang duduk di sofa terpisah dari mereka hanya tersenyum penuh arti mendengar godaan ayah Nina.

Melihat reaksi Nina, lagi-lagi ayahnya iri terhadap Bima yang kini sudah bisa menggeser separuh ruang hati putrinya yang selama ini hanya ia dan putra sulungnya, laki-laki yang mendominasi ruang hati putrinya itu. Dan kini ia harus rela berbagi ruang dengan laki-laki berprofesi sebagai arsitek yang menjadi impiannya dulu.

***

16-12-2015 / 13:54 WIB

Second Love BlossomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang