Hingga sore di hari ke-4 atas aksi diamnya dengan Sinta, sahabatnya itu masi tak terlihat tanda akan mengakhiri aksi diam mereka. Tumben? tapi Nina tetaplah Nina, gadis yang penuh dengan segala kegengsiannya yang selalu merasa bukan dia yang seharusnya mengakhiri aksi diam ini.
Tetapi justru rasa gengsinya yang seperti itu malah takluk dibawah rasa cintanya pada Bima. Ya, cuma pada Bima, Nina tidak gengsi menyatakan perasaannya terlebih dulu walaupun ia tahu Bima juga mempunyai rasa padanya dan lumrahnya Bima lah yang harus mengungkapkannya terlebih dulu. Cuma pada Bima, Nina tidak gengsi hanya untuk sekedar mengabari atau menanyakan kabar terlebih dulu padahal hanya untuk sekedar say 'Hai' pada sahabatnya saja ia justru gengsi.
Mungkin pada dasarnya sekarang rasa takut kehilangan yang dimiliki Nina pada Bima jauh lebih besar ketimbang rasa takut kehilangan sahabatnya. Dan mungkin karena ia merasa sahabatnya sangat menyayanginya sehingga ia yakin sahabatnya tak akan meninggalkannya. Jadi, apa dengan kemungkinan itu artinya ia juga merasa bahwa rasa cinta Bima tak sebesar sahabatnya sehingga ia perlu lebih menunjukkan rasa sayangnya pada Bima agar Bima tahu dan tidak meninggalkannya?
Masih yakin Sinta akan menghubunginya pada malam harinya, tanpa sadar ia membuka kembali pesan percakapannya yang dulu-dulu dengan Sinta di hp nya.
Penyakitan lo! kena ujan dikit sakit. Habis ngampus gue langsung kesana. Bilang aja mau dibawain apa.
Pesan itu dikirim Sinta tak lama saat ia menulis status di BBMnya dengan caption 'Demam'
Nina tersenyum membacanya betapa dibalik tajamnya perkataan sahabatnya itu, dia begitu perhatian padanya.
Tanpa sadar Nina kembali menemukan pesan Sinta saat beberapa bulan lalu mereka juga melakukan aksi diam seperti sekarang.
Nggak usah GR! Gue cuma nggak mau aja amal baik gue sia-sia selama 40 hari kedepan gara-gara lebih dari 3 hari diem-dieman sama lo, my best enemy!
Dih!
Gak usah ngambek, ia gue salah ketik. My bestie maksud gue. :*
Nina ingat hari itu Sinta sedang di luar kota untuk mengurus acara amal yang diadakan kampusnya sehingga kamarnya aman dari kekacauan Sinta. Ia juga ingat pertengkaran mereka sebelum-sebelumnya dimana setelah 3 hari saling diam dengan wajah tanpa berdosanya ia tiba-tiba bertandang ke rumahnya tanpa sepengetahuannya dan membuat kericuhan di dapur bersama mamanya membuat makanan kesukaannya. Ia juga ingat lagi beberapa koleksi novelnya tercecer dimana-mana saat ia memasuki kamarnya dan menemukan Sinta tengah membaca novelnya di atas tempat tidur dengan wajah tanpa dosa padahal saat itu mereka sedang marahan.
Mata Nina tiba-tiba terasa panas mengingat semuanya. Mengingat betapa Sinta selalu bisa merobohkan dinding kemarahan, kekesalan dan permusuhan diantara mereka sekeras apapun ia coba membangunnya.
***
Sabtu pagi Nina sudah siap dengan penampilannya. Rasa senang sekaligus sedih menghampirinya bersamaan. Senang karena akan bertemu Bima setelah 4 hari hanya berjumpa via suara. Sedih karena hingga hari ke-5, Sinta masih belum mengakhiri aksi diam mereka. Ia benar-benar merindukan kekasih dan sahabatnya itu sekarang. Kakinya melangkah cepat menuju pagar rumahnya begitu bunyi bel berdenting dan Nina jelas tahu siapa yang datang.
Menepati janjinya beberapa hari yang lalu, Bima muncul dengan senyumnya yang selalu ia rindukan. Agak sedikit kaget karena Bima datang dengan motor milik kakaknya, tiba-tiba saja Nina mengingat Sinta yang lebih suka berkendara dengan motor saat ia minta dijemput ataupun saat mereka jalan untuk girls time daripada berkendara dengan mobil. Alasannya klise, jakarta macet. Pakai motor lebih cepat sampainya daripada bawa mobil.
"Nggak-papa kan motoran?" sapa Bima saat mendekat ke arah Nina
Nina tersenyum mengangguk dan memeluk Bima erat. Menyalurkan kerinduannya yang juga bercampur rindu pada sahabatnya karena beberapa hari tak bertemu.
"Kangeeen" bisiknya manja dengan mata yang tiba-tiba berkaca. Ia terlalu mudah terharu dan terbawa perasaan.
Bima balas memeluknya dan mengelus sayang kepala Nina sebelum melonggarkan pelukannya dan Nina menarik tangan Bima menuju ke dalam rumahnya untuk berpamitan pada ayah dan mamanya.
"Pagi, Om... Tante..." Bima menyapa kedua orang tua Nina seraya mencium punggung tangan mereka "Saya pamit mau ajak Nina jalan, Om... Tante"
"Ya, pagi... jangan terlalu malam pulangnya" ucap ayah Nina, sedangkan mamanya hanya tersenyum mengangguk.
"Nina berangkat ya, Yah... Ma..." pamit Nina
"Hati-hati ya, nak" ucap mamanya seraya mencium kedua pipi, dahi, dan hidung Nina dengan sayang.
Dikalungkannya kedua tangannya ke depan memeluk perut Bima begitu motor melaju menjauh dari rumahnya. Menopangkan dagunya pada bahu Bima, sekelebat memori tentang percekcokannya dengan Sinta beberapa hari lalu tiba-tiba terlintas. Menerka dan mengingat-ingat kembali apakah yang kiranya membuat Sinta masih tetap mendiamkannya. Apakah ada perkataannya yang salah dan menyinggung Sinta? seingatnya, sebelum ia mengusirnya ia hanya berkata 'Iya, gue malas punya sahabat kayak lo' tapi itupun sudah biasa ia lontarkan bahkan jika ia tidak sedang bercekcok dengan Sinta. Selanjutnya ia hanya berkata---- oh, tidak!
Diangkatnya dagunya dari bahu Bima yang tengah mengemudikan laju sepedanya, demikian juga dengan pelukannya. Menggeleng kuat kepalanya, Nina mengutuk perkataannya jika memang ia telah menyakiti Sinta dengan perkataannya kemarin yang mungkin Sinta akan berfikir ia lebih mementingkan Bima yang hanya pacarnya daripada dia, sahabatnya. Seketika Nina mengingat, kata-kata terakhir Sinta sebelum meninggalkan kamarnya.
"Yaudah asal lo bahagia sama dia. Gue pulang. Dan mulai sekarang ga bakal ada yang bikin lo males gara-gara denger omelan dan kata-kata kasar gue. Lo baik-baik deh kalo gitu"
"Nggak... nggak boleh" lirih Nina yang tanpa sadar sudah menetskan air matanya dan semakin kuat menggelengkan kepalanya.
Bima yang menyadari ada yang aneh dengan Nina di belakangnya seketika menepikan laju motornya. Menyadarkan Nina dengan sentuhannya pada lutut Nina, Bima menoleh ke belakang dan menemukan Nina yang sudah berlinang air mata dan belum menyadari bahwa laju motor sudah berhenti sedari tadi.
"Heii.. kenapa?" tanya khawatir.
Sentuhan tangan Bima yang menghapus air matanya seketika membuat Nina tersadar. "Antar Nina ke rumah Sinta sekarang, kak!" pinta Nina cepat
"Iya, tapi ada apa sama Sinta?" masih belum menyalakan kembali motornya, Bima bertanya penasaran apa yang membuat gadisnya itu menangis.
"Sekarang kak! antar Nina ke rumah Sinta, sekarang!" tak sabaran Nina menyuruh Bina cepat melajukan motornya ke arah rumah Sinta dengan menarik-narik jaket Bima
"Sayang!... sayang! heii denger aku!" ucap Bima memelan seraya menahan tangan Nina yang terus menarik-narik jaketnya. "Iya, aku antar kesana. Tapi kamu tenang dan berhenti nangis, okey?" Bima kembali menghapus sisa air mata Nina yang dibalas anggukkan Nina.
Motor kembali melaju dan Nina mengutuk dirinya yang sedari kemarin tidak peka atas kata-katanya yang menyakiti sahabatnya. Yang ia inginkan sekarang hanyalah cepat bertemu sahabatnya itu dan meminta maaf atas perkataannya kemarin.
***
29-12-2015 / 12:31 WIB

KAMU SEDANG MEMBACA
Second Love Blossomed
SonstigesSequel First Sight Called Love [!!!] Part 14 sama 26 diprivate. Saya nggak cari followers karena saya lebih suka ditinggalin jejak di cerita saya daripada difollow. Tapi karna saya pengen tau ada yang baca nggak sih cerita ini selain mereka yang raj...