SLB - 15

116 5 3
                                    

Pagi-pagi Sinta sudah mengarahkan laju motor matic nya ke rumah Nina. Merasa frustasi panggilan telfon dan sms nya tak digubris sama sekali sejak semalam dan sehabis subuh tadi. Untung saja hari ini dia tidak ada kelas, dan dia juga tau jika hari ini pula Nina biasanya akan berangkat kampus agak siang.

Mama Nina merasa aneh pagi-pagi sudah ada tamu yang bertandang ke rumahnya. Bahkan ia saja belum menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya yang masi melanjutkan tidurnya sehabis subuh tadi.

"Lho Sinta? tumben pagi sekali kesini nya? Nina aja masih tidur itu di kamarnya"

Ia menyengir lebar mendengar sambutan mama Nina. "Sinta ke atas ya, Tan?"

"Oiya, Sinta suka deh nasi goreng pedes tante Rena pake telor orek" ucapnya mengkode mama Nina meminta sarapan. Mencium singkat pipi mama Nina, ia kemudian berlalu ke kamar Nina.

Mama Nina hanya menggeleng lemah dengan senyumannya melihat kelakuan sahabat putrinya itu yang sudah seperti anaknya sendiri.

Sosok yang dicarinya tengah bergelung dengan selimutnya begitu pintu kamar sahabatnya itu ia buka. Ditariknya selimut yang membelit tubuh sahabatnya itu.

"Mamaaaa... selimutnyaa... Nina kedinginan nih" rengeknya dengan suara serak dan mata yang masih terpejam. Tidak sadar bahwa yang menarik selimutnya adalah sahabatnya yang paling menyebalkan tapi juga paling ia sayang. Bukan mamanya.

Tak mendapat respon setelah rengekannya, Nina akhirnya membuka mata untuk mengambil kembali selimutnya. Sedikit rasa kaget terbaca dari raut wajahnya begitu matanya menangkap sosok Sinta yang tengah memandangnya dengan berkacak pinggang. Selanjutnya hanya suara decakan yang keluar dari mulut Nina sebelum kembali memejamkan matanya dan memunggungi Sinta.

"Kanina Asya Puteri, bisa jelasin semuanya sekarang ke gue kenapa dari semalem lo sengaja nggak bales pesan gue dan sengaja me-reject panggilan gue?"

"termasuk cowok brengsek yang ninggalin lo 7 tahun lalu itu!" tambah Sinta yang masih tak mendapat respon dari Nina.

Masih dengan berkacak pinggang, Sinta tetap berdiri memerhatikan Nina yang masih memunggunginya karena ia tahu Nina mendengar kata-katanya.

"Gitu ya? lo udah males ngomong sama gue? lo udah males punya sahabat kayak gue? lo udah males denger gue ngomel-ngomelin lo gini?" kali ini ucapan Sinta lebih memelan dari sebelumnya.

Sejujurnya Nina masih terjaga dalam pejaman matanya dan mendengar semua kata-kata Sinta. Tapi memang sungguh ia masih kesal pada Sinta karena entah apa yang diucapkannya pada Bima sehingga membuat Bima menjadi dingin padanya seperti semalam.

"Iyaa gue males punya sahabat kayak lo. Gue kesel sama lo yang udah bikin kak Bima bersikap dingin sama gue. Justru lo yang bikin gue nggak bahagia kalo maksud lo pengen gue sama kak Bima menjauh. Pulang aja lo sana! gue mau tidur lagi!" serunya dengan nada ketus mengusir Sinta.

"Yaudah asal lo bahagia sama dia. Gue pulang. Dan mulai sekarang ga bakal ada yang bikin lo males gara-gara denger omelan dan kata-kata kasar gue. Lo baik-baik deh kalo gitu"

Suara Sinta terdengar aneh bagi Nina. Namun tetap ia abaikan karena memang seperti itulah jika keduanya bertengkar. Dan seperti biasanya pula Sinta akan kembali membujuknya hingga mereka berdua berbaikan seperti tidak terjadi apa-apa.

Saat terdengar suara langkah kaki Sinta menjauhi kasurnya, barulah kemudian Nina memejamkan kembali matanya. Kembali ke alam mimpi yang tadi sempat terganggu.

"Tan, belum masak kan? Sinta nggak jadi sarapan disini deh. Ninanya masih ngebo tuh. Sinta juga baru inget tadi papa titip nasi uduk. Hehe" dusta Sinta dengan cengirannya berusaha terlihat biasa saja.

"Loh nggak dibangunin Ninanya, Sinta? memang dia semalem datengnya agak kemaleman jadi masih ngantuk banget sepertinya"

"Nggak-papa, Tante. Lain kali aja, gak penting juga sih. Biarin dia lanjutin tidurnya. Sinta balik ya, Tante" pamitnya sinta setelah mencium pipi kanan dan kiri mama Nina.

Dan ketika motornya sudah menjauh dari rumah Nina, barulah butiran bening itu keluar dari kedua matanya. Entahlah dari semua permasalahan antara dirinya dan Nina selama ini, baru kali ini Sinta merasa ini terasa menyakitkan bagi dirinya. Sikap Nina yang bahkan bicara dengannya saja malas. Mungkin karena ia tahu bahwa ia akan mendapatkan kata-kata kasar dari Sinta. Jadi mungkin itu yang membuat Nina malas bicara dengannya. Ya, Sinta sadar bahwa memang terkadang kata-katanya terlalu ceplas-ceplos dan kasar. Dan mungkin karena itu pula untuk sekedar curhat tentang cinta masalalunya yang telah kembali saja Nina tidak mau menceritakannya pada Sinta.

Selain itu, mendapatkan kenyataan bahwa panggilan telfon dan pesannya tak dibalas Nina karena sahabatnya itu sedang sibuk dengan pacarnya berdasarkan informasi dari mama Nina tadi semakin membuatnya miris. Padahal bisa saja Nina mengangkatnya sebentar hanya untuk sekedar bilang 'gue lagi sibuk, nanti gue telfon lagi'.

Menyadari kenyataan bahwa sahabat tak lebih penting dari seorang pacar, ia mendengus mengasihani dirinya. "Lo tuh cuma sahabat nggak penting yang bisanya ngomong ceplas-ceplos kasar aja, Sin!"  dengus Sinta pada dirinya sendiri.

Selama pacaran dengan Galih sejak SMA, ia tak sepenuhnya mementingkan pacarnya itu daripada sahabatnya. Karena ia sadar bahwa pacar bisa saja putus, tapi sahabat sudah ia anggap seperti saudara. Jadi, tidak akan pernah ada kata putus untuk yang namanya saudara. Mereka selalu lebih penting. Dan karena itu pula lah tak jarang memicu pertengkaran mereka selama berpacaran.

Sinta mengutuki dirinya yang seketika menghitung-hitung kebaikannya selama ini justru mendapatkan balasan yang menyakitkan seperti ini. Ia juga amat sangat menyadari dirinya yang sangat menyebalkan dengan berbagai macam kata-kata kasarnya yang sering ia lontarkan pada sahabat-sahabatnya. Tapi semua itu ia lakukan karena ia berusaha jujur kepada dirinya sendiri dan sahabatnya. Ia tidak suka menyimpan unek-unek kejelekan dan keresahannya pada sahabatnya. Jadi, apa yang ia katakan juga demi kebaikan sahabatnya.

Sahabat yang baik adalah sahabat yang tidak selalu membenarkan kata-kata sahabatnya, tetapi menegurnya ketika mereka salah.

***

27-12-2015 / 13:10 WIB

Second Love BlossomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang