SLB - 23

95 3 0
                                    

Langit masih gelap ketika udara dingin dini hari menerpa wajahnya. Jaketnya ia rapatkan berserta kupluk penutup kepalanya. Menikmati udara segar pagi pegunungan dengan hamparan pepohonan hijau yang terlihat dengan penerangan senter seadanya ditangannya. Siap melanjutkan pendakiannya menuju puncak. I'm coming, burangrang! serunya dalam hati

"Udah siap?"

Suara dan uluran tangan Revan membuyarkan kegiatannya menikmati udara pagi. Mulai terbiasa dengan perhatian dan sikap pelindung Revan, tanpa ragu ia menjulurkan tangannya menyambut uluran tangan Revan.

"Siap donk! Ayok!" Antusiasnya riang.

Perjalanan yang cukup panjang dan bersahabat dilaluinya ketika menuruni puncak 2. Namun berbeda saat akan menaiki puncak 3, hatinya mulai diselimuti kengerian ketika harus melewati jalan selebar ±1,5 meter dengan sisi kanan dan kiri berupa jurang.

"Pelan-pelan aja, ada gue yang jaga lo" bisik Revan tepat di telinga Nina.

Ada rasa nyaman dan terlindungi ketika Nina mendengarnya. Rasa nyaman dan terlindungi yang sama seperti yang ia rasakan pada Bima. Ahh tiba-tiba saja ia merindukan kekasihnya itu. Seharian tanpa kabar karena terhalang sinyal yang sempat tak terdeteksi dan akhirnya ia menonaktifkan hp nya.

Perlahan potret nyata suasana sekitar pegununguan mulai terlihat  walau warna langit masih menggelap. Ditemani dengan penjelasan singkat Revan tentang gunung-gunung yang masih dalam satu rangkaian dengan burangrang serta tempat-tempat menarik di sekitar burangrang, mereka tiba di sebuah dataran yang disebut puncak meong yang luasnya tak lebih besar dari tempat mereka ngecamp sebelumnya.

"Kenapa ke kiri? memangnya kalo ke kanan tidak bisa?" tanya Nina ketika tiba pada sebuah pertigaan dan rombongan justru mengambil jalan ke arah kiri.

"Kita mau ke puncak burangrang, bawel. Bukan mau ke gunung tangkuban perahu"

"eh? tangkuban perahu? Ceritanya si sagkuriang dan dayang sumbi?" tanya Nina lagi yang dijawab gumaman Revan serta rangkulan di bahunya. Arah cahaya senter Revan mengarah pada satu tugu yang membuat Nina seketika mendongak dan tak lupa dengan pertanyaan polosnya. "Itu apa?"

"Kita udah tepat dibawah puncak sesungguhnya" jawab Revan

Tanjakan berbatu dan curam pun dilewati Nina dengan penuh semangat mengingat ini adalah tanjakan terakhir menuju puncak burangrang. Berpegangan erat pada tali yang menjadi pembatas jalan dengan sisi kanan dan kiri jurang dengan jalan yang lebih sempit daripada saat menuju puncak meong tak menjadi kekhawatirannya mengingat janji Revan yang akan selalu menjaganya.

Sampai di sebuah tugu yang sempat ia sorot tadi bersama Revan, mulutnya sempat terperangah dan tak menyangka seiring dengan dilihatnya tugu bertuliskan 'BURANGRANG (2050 mdpl)'. Air mata haru sempat lolos dan menetes, tak menyangka dirinya bisa menuju puncak gunung dan berdiri di alam bebas dengan ketinggian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun tetiba suara panggilan hp nya membuyarkan sesi harunya. Lupa bahwa ia belum menonaktifkan kembali hpnya sebelum tidur semalam. Sedikit kaget bahwa diatas puncak gunung hpnya justru bisa mendeteksi sinyal.

"Udah bangun lo?"

Suara diseberang seketika menguasai pendengarannya. Ahh yaa, Nina baru sadar bahwa hari sudah menunjukkan waktu subuh. Dan sahabatnya itu akan selalu menjadi pengingatnya.

"Hemm..." gumamnya "Buk, coba tebak gue dimana sekarang?"

Pertanyaan aneh Nina menciptakan kernyitan heran di dahi Sinta.

"hmm... iya bagus lo udah di atas sajadah dan lo udah bangun duluan sebelum gue bangunin" cicit Sinta malas seperti biasa ketika Nina sudah bangun terlebih dulu darinya.

"Bukaaan!" kesalnya mendengar nada malas tak tertarik Sinta. "Gue di puncak gunung donk sekarang!" serunya riang

"Ck... nak, bangun donk ayo cepetan jangan ngigau terus! gue juga mau bangunin Galih nih" balas Sinta lagi. Sinta tahu bahwa sedari dulu Nina selalu ingin naik gunung dan ia juga tahu mamanya tak pernah mengijinkannya pergi. Jadi pantas saja jika ia menyangka Nina sedang mengigau.

"Iiih... gak percaya dibilangin! yaudah gih bangunin si Galih!" ucapnya sedikit kesal karena Sinta yang tak juga percaya. "Makasih ya, buk udah mau jadi sahabat paling baik guee... makasih selalu jadi alarm pengingat gue. I love you dari ketinggian dua-ribu-lima-puluh meter diatas permukaan laut, buk..." tambahnya dengan suara kecupan dan cengiran sebelum menutup telfonnya.

Beberapa notif pesan menghiasi layar hpnya, namun tak sempat ia sentuh untuk dibaca ketika teguran Revan untuk segera bertayamum dan melakukan sholat subuh membuatnya mengabaikan pesan-pesan itu. Termasuk pesan dari kekasihnya yang sedari kemaren mencoba menghubunginya namun terhalang sinyal.

Subhanallah.

Indah.

Menyejukkan.

Tiga kata yang menggambarkan pemandangan dari puncak burangrang tepat dimana Nina berdiri sekarang. Menyaksikan matahari yang mulai menampakkan cahayanya, pemandangan kota bandung dari kejauhan, pemandangan gunung tangkuban perahu serta gunung bukit tunggul yang merupakan satu rangkaian dengan burangrang serta hamparan pohon berwarna hijau menyejukkan, diabadikannya dalam memori pikiran serta kameranya. Sesekali ia mengambil foto dirinya sendiri dengan background pemandangan disekitar puncak burangrang.

"Suka?"

Satu anggukan menjawab pertanyaan lembut dari sampingnya. Kembali ia mengabadikan pemandangan alam dari puncak burangrang dengan sesekali bantuan Revan dan juga tak lupa berfoto bersama.

"Makasih udah mau ajakin gue kesini. Nikmatin suasana damai dan sejuk puncak gunung seperti yang gue impiin selama ini. Ini indah banget. Gue suka!" ucapnya tulus dengan senyum mengembang yang terlihat cantik di mata Revan.

Tangan Revan terulur mengacak pelan puncak kepala Nina mendengar ungkapan tulusnya seraya mengangguk.

"Nggak mau coba teriak?" Tanya Revan menawarkan dan hanya mendapatkan kernyitan aneh di dahi Nina "Katanya bikin lega kalo teriak apalagi di ketinggian alam bebas gini"

"ih malu tauk"

"ngapain malu? nih ya gue coba" sela Revan yang kemudian mencoba berteriak lepas.

Merasa tertarik, Nina mulai mencoba menirukan Revan.

"Aaaaaaaaaaaaaaakkk"

Nina mulai menarik nafasnya teratur kembali. Tersengal akibat teriakannya sendiri. Tapi tak dipungkiri rasa lega begitu terasa seakan bebannya merasa berkurang. Entah beban apa yang jelas ia kemudian tanpa sadar ia ikut tertawa bersama Revan.

"Bener nggak yang gue bilang?" tanya Revan memastikan bahwa ucapannya sudah dibuktikan dan dirasakan Nina dengana anggukannya. Mengacak pelan puncak kepala Nina disampingnya, entah dorongan darimana seketika Revan memeluk Nina seraya berbisik pelan.

"Gue juga lega. Semakin lega lagi dengan gue bilang kalo gue sayang sama lo. "

***

12-01-2016 / 10:11 WIB

Keasikan main candy crush abis dapet bonus nyawa 24 jam main sepuasnya jadi males baca sama nulis. Waktunya udah habis tapi masih keasikan main terus. 21 level lagi menuju level 1000. iya beneran nolnya segitu, level seribu. Hahaha #gapenting

Second Love BlossomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang