SLB - 22

90 5 1
                                    

Ketakutannya terwujud ketika asap putih itu terbawa angin dan melewati hidungnya. Bis ekonomi yang mereka tumpangi itu hanya menyediakan AC alami alias udara bebas dari luar yang bisa masuk lewat celah-celah jendela bis yang terbuka. Revan mulai menyadari ketidak nyamanan Nina ketika suara batuk terdengar dari sampingnya.

Kaca jendela di sampingnya sudah ia buka dan menghadapkan wajahnya ke arah luar. Lebih baik menghirup udara luar daripada asap rokok. Tubuhnya sedikit menyerong seraya menyandarkan kepalanya karena pusing akibat bau rokok yang samar-samar masih menembus indra penciumannya.

Matanya tidak jadi terpejam karena sesuatu yang tiba-tiba membekap sebagian wajahnya dan sesuatu seperti karet melingkar di kedua daun telinganya.

"Kenapa nggak bilang kalo alergi asap rokok?" bisik Revan begitu selesai memasangkan masker pada Nina. "Sorry, kita biasa pake bis yang AC nya alami biar lebih ngirit. Maklum, kantong mahasiswa"

Nina menggeleng tak ingin tampak merepotkan dan terlihat lemah serta banyak maunya. "Sesek dikit kok. Tar juga ilang sendiri"

Revan hanya mengacak pelan puncak kepala Nina saat mendengarnya.

Sekitar 5 jam perjalanan dari jakarta, mereka turun di jembatan cimareme setelah keluar dari tol padalarang. Lagi-lagi pertanyaan 'sudah sampai?', 'kapan sampainya?', 'kurang berapa lama sampainya?' dilontarkan Nina yang sepanjang perjalanan ditanyakannya dan hanya mendapat bungkaman tangan Revan di mulutnya. "Bawel!"

Perjalanan mereka dilanjutkan dengan menaiki angkot sebelum beristirahat untuk sholat ashar dan menjamak sholat dhuhur mereka yang tertinggal selama perjalanan tadi. Beruntung walaupun harus berdempetan didalam angkot, tak ada asap rokok yang tertangkap hidung Nina. Ia justru sangat terlihat antusias ketika Revan memberitahunya bahwa angkot kedua yang mereka tumpangi seusai istirahat sholat ashar ini adalah angkot terakhir sebelum mereka sampai di sebuah desa dimana awal pendakian mereka akan dimulai.

"Kok istirahat lagi sih?" tanya Nina pada Revan ketika rombongan memutuskan akan mendaki selepas isya'.

"Antusias banget sih mendakinya? Awas ya sampe nanti ngeluh!" cubitan gemas dirasakan Nina pada hidungnya ketika menerima tanggapan Revan. "Isi perut dulu, tuan putri sambil lalu nunggu magrib bentar lagi, sekalian jamak sama isya' nya" tambah Revan

"Astaghfirullah!" serunya seraya menepuk keningnya karena baru sadar bahwa ia harus menunaikan kewajiban sholatnya saking terlalu antusiasnya untuk segera mendaki dan sampai di puncak gunung.

Langit menggelap, cahaya mentari pun tergantikan dengan cahaya lampu dan cahaya bintang. Siap mendaki gunung burangrang dengan senter di tangan masing-masing untuk membantu penerangan mereka.

Setengah jam berjalan kaki dari gapura bertuliskan KOMANDO saat pertama mereka berangkat, diliriknya Nina yang sama sekali tak terlihat lelah di sampingnya. Tangan Revan dengan iseng menarik kupluk yang dikenakan di kepala Nina sehingga menutupi kedua matanya.

"Aakk... apa sih lo?!" pekik Nina kaget mendapat keusilan revan. Sementara Revan hanya terkekeh melihat wajah kesal Nina ketika sorot lampu senternya sengaja ia arahkan tepat didepan wajah Nina. "Silaauuu!!!!" pekik Nina lagi sembari melayangkan pukulannya pada Revan. Hal itu juga kontan membuat teman-teman Revan yang lain terkekeh melihatnya. Lumayan sebagai hiburan yang sedari tadi hanya diiringi suara obrolan tanpa canda tawa.

Berhenti di pos kedua setelah sebelumnya pada pos pertama yang merupakan pos pendaftaran pada pihak perhutani, mereka kembali harus meminta izin di pos 2 yang merupakan pos TNI karena kawasan burangrang yang dikelola oleh Perhutani itu sebagian lahannya dimanfaatkan sebagai hutan pegunungan tempat latihan militer. Itu juga mengapa pada pos kedua ini terdapat gapura bertuliskan KOPASSUS diatasnya. Beruntung sedang tidak ada latihan militer dan mereka diijinkan untuk terus melanjutkan mendaki burangrang.

"Ih untung ya pas lagi ga dipake latihan militer. Kalo iya kita nggak bisa naik donk? terus kalo udah terlanjur sampe kesini jauh-jauh masa harus pulang?" cerocos Nina panjang lebar

Tidak tahan dengan sikap dan pertanyaan polos Nina yang selalu membuatnya gemas, sengaja ia rangkulkan lengannya pada leher Nina seperti memiting dan membungkam mulutnya dengan tangan satunya. "Nanya lagi gue cium nih!"

Gumaman protes tak jelas keluar dari mulutnya yang terbungkam tangan Revan. Ia hanya bisa pasrah mulutnya terbungkam sambil terus berjalan ketika Revan berkata bahwa sebelum mendaki teman-temannya sudah melakukan survey dihari sebelumnya.

Perjalanan mulai memasuki kawasan hutan pinus yang memiliki nama latin Casuarina equisetifolia / Pinus longaeva / Pinus mercusii ketika Revan membisikkan sesuatu di telinga Nina dengan tangan yang masih bertengger di bahu gadis itu. Tangannya seketika memeluk Revan erat disampingnya menyadari posisinya yang berada dibagian paling belakang rombongan. Bulu kuduknya merinding seketika membayangkan sekelebat bayangan putih melintas di sampingnya atau bahkan bayangan putih itu akan membunuhnya dari belakang.

Sementara Revan hanya bisa terkekeh dalam hati dan membatin karena keusilannya membohongi Nina. Gue nggak peduli lo punya pacar, gue cuma mau selalu bisa sedeket ini sama lo.

Satu jam kiranya mereka melewati hutan pinus dengan Nina yang terus memeluk Revan sepanjang perjalanan. Namun kemudian suara kekehan dari arah Revan terdengar dan Nina menyadari bahwa sedari tadi Revan membohonginya.

"Nyebelin lo ih!" serunya brutal sembari melayangkan beberapa pukulan di tubuh Revan. Hal itu lagi-lagi kontan mengundang tawa rombongan. Dan lagi-lagi, cuma satu orang yang tidak tertawa sebagaimana lainnya. Ia justru dirundung kecemburuan.

Keluar dari hutan pinus, rombongan memasuki hutan alam dengan trek yang menanjak dan sangat terjal. Kelegaan bercampur rasa lelah baru Nina rasakan setelah melewati puncak 1 sebelum menuju puncak utama burangrang. Berjengit kaget, kepalanya menghindar ke belakang begitu rasa manis dari sesuatu yang Revan sodorkan terasa di bibirnya.

"Biar ngurangin capek"

"Gula.. aren?" tanya Nina tak yakin sembari terus mengecapkan bibirnya yang kemudian dijawab gumaman iya dari Revan.

"kok bisa?"

"Udah nggak usah bawel makan aja biar staminanya balik lagi" perintah Revan

"ih kan cuma nanya!" cicitnya tak terima sembari terus berjalan menjajari langkah Revan.

Sesekali Nina menepuk-nepuk pelan betis dan pahanya yang terasa lelah. Perjalanan menuju puncak 2 masih berlanjut dengan trek yang cukup bersahabat daripada saat pendakian puncak pertama. Revan hanya bisa terus menepuk sabar bahu Nina untuk menahan rasa lelahnya hingga tak lama kemudian mereka menemukan dataran yang cukup luas dan diputuskan untuk istirahat dan melanjutkan pendakian esok hari sebelum matahari terbit.

***

10-01-2016 / 16:37 WIB

Harap maklum kalo part ini hambar banget dan ga greget. :(

Second Love BlossomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang