SLB - 9

119 8 0
                                    

Lamunannya buyar ketika rasa dingin terasa di lengannya yang memar. Entah kapan pelayan mengantarkan alat dan bahan untuk mengompres itu. Dan entah berapa lama juga ia melamun dengan mata yang tak terputus memandangi Bima yang kini sudah bergeser duduk di sampingnya.

"Kenapa bisa gini tangannya?"

"kak?"

Mata keduanya saling beradu menyadari ucapan mereka yang keluar serempak.

"Kena kibasan nampan pas tadi baru nyampe sini" Nina menjawab sekaligus memutuskan kontak mata keduanya

Bima mengangguk dan baru saja ia akan membuka suaranya, pelayan datang mengantarkan pesanan keduanya. Membuatnya urung bertanya lebih lanjut.

Keduanya menikmati makannya dalam diam. Berbeda dengan Bima yang tampak lahap dan tenang, Nina justru kembali memandangi Bima dengan pikiran yang berkecamuk.

"Kalo makannya cuma di diemin gitu aja, kakak nggak bakalan kasih penjelasan apapun" tegur Bima menangkap basah Nina yang tengah memandanginya

Dengan segera Nina meraih piringnya dan menyuapkan makanannya ke dalam mutut. Tapi, baru setengah Nina menghabiskan makanannya, ia langsung menggeser piringnya tak ingin melanjutkan kembali acara makannya. Rasa ingin segera mendengar penjelasan dari Bima lebih besar daripada rasa laparnya.

Selesai dengan acara makannya, keduanya sama-sama menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Nina hanya diam menunggu Bima mengucapkan sesuatu.

"Kakak lost contact total buat hubungin kamu. Entah jatuhnya dimana apa dicuri, hp udah ga ada di tas saat udah di dalem pesawat pas mau turn off hp karna pesawat bakal segera take off. Saat itu Ayah dapet mutasi ke Surabaya dari kantornya. Bunda seneng banget karna akhirnya bisa menetap kembali di kampung halamannya, kampung halaman ayah juga. Dan akhirnya kita pindah hari itu"

Jeda sejenak, Bima menarik nafasnya sebelum bercerita lebih lanjut. Sedangkan Nina langsung menatap ke arah Bima saat lelaki itu menceritakan kepindahan keluarganya ke Surabaya.

Sekelebat informasi dari Mamanya dan tante Rahma mengenai mbak Nisa yang menikah dengan mas Eka, pernikahan mereka yang berlangsung di Surabaya, mereka yang akan menetap di Jakarta karna mas Eka dapat promosi kerja disini dan adik iparnya yang baru ia ketahui adalah Bima  yang berkunjung kesini. Oh, tunggu! berkunjung? berarti Bima tidak tinggal di Jakarta? cuma sementara?

"Rumah yang di Jakarta dijual dan Bunda juga lost contact sama tante Ratih, mamanya Sinta yang jadi harapan terakhir kakak bisa dapet informasi tentang kamu dari Sinta"

"Bunda saat itu memang nggak ada hp dan cuma ada telfon rumah buat berhubungan sama temen-temennya termasuk tante Ratih. Buku telfon yang buat nyimpen nomor kontak temen-temennya entah terselip dimana dan mungkin tertinggal di rumah lama. Takdir sepertinya sengaja menutup akses kakak agar bisa menghubungi kamu" saat mengucapkan kalimat terakhir itu Bima hanya tertawa miris.

Sementara Nina sudah dengan mata berkaca-kacanya mendengar penjelasan Bima terutama pada nada Bima saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Ya, lelaki itu juga berusaha untuk menghubunginya tapi takdir menghalanginya.

"Sampai saat kemaren kakak pertama kalinya ke jakarta lagi, kakak pikir cuma halusinasi lihat kamu di depan rumah kak Krishna. Kak Krishna itu yang kamu kenal sebagai mas Eka"

"Tapi ternyata memang beneran yang kakak lihat itu kamu setelah denger cerita mbak Nisa"

Selanjutnya Nina bisa mengira dari siapa Bima mendapatkan nomornya dan bisa kembali menghubunginya. Otaknya seketika menajam dan mengerti maksud perkataan Bima kemaren sore.

"Nggak terasa ternyata sudah 7 tahun..." Bima menoleh sekilas kearah Nina dengan senyumannya. Memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.

"Meskipun sudah telat tapi akhirnya bisa ketemu kamu lagi"

Nina yang tak mengerti maksud Bima mendongakkan kepalanya, mengernyitkan dahinya seolah bertanya melalui tatapannya.

"Maaf, kalo ada yang marah karna sampai sekarang kakak masih aja panggil kamu dengan panggilan seperti dulu" ucap Bima yang kali ini tersenyum miris dengan pandangan berpaling tanpa menatap wajah Nina

Nina menggeleng kuat seketika setelah mengerti maksud ucapan Bima.

Sudut mata Nina sudah siap menumpahkan airnya dalam satu kedipan saja. Ia semakin menggeleng keras dan mencengkram kemeja bagian lengan kanan Bima yang bermain-main dengan gelas minumannya.

Bima yang merasakan cengkraman tangan Nina langsung menolehkan pandangannya. Tangannya kontan menghapus titik air mata yang sudah keluar namun belum meluncur bebas di pipi Nina. Mengabaikan rasa malunya, Nina memeluk erat tubuh Bima. Masih terus menggeleng ia menyembunyikan wajahnya pada bahu Bima.

"Nina masih sayang kakak. Nina sayang kak Bima" lirihnya yang justru terdengar jelas di telinga Bima.

Kedua tangan Bima yang sedari tadi tak membalas pelukan Nina segera terangkat membalas pelukan Nina begitu mendengar ungkapan sayang dari mulut Nina. Mengelus lembut punggung dan kepala Nina sebentar sebelum menjauhkan tubuh Nina dari pelukannya.

"Kita balik sekarang, keburu sore dan tambah macet" ucap Bima kemudian menjulurkan tangannya ke udara meminta pelayan mengantarkan  bill pesanan mereka.

Nina masih menundukkan kepalanya setelah lepas dari pelukan Bima.

"Kak Bima naik apa pulangnya? Nina balik ke kampus. Masih ada kuliah" ucapnya begitu melihat Bima berdiri.

"Kakak bisa naik taksi, kamu hati-hati baliknya" Bima mengelus lembut kepala Nina seperti kebiasaannya dulu. Menghantarkan kehangatan dan rona merah di pipi Nina.

"Tapi Nina mau pulang bareng sama kakak" rengek Nina dengan menahan tangan Bima yang baru saja mengelus kepalanya.

Bima menggeleng lemah "Kamu kan harus balik ke kampus. Bukannya dulu kamu yang paling ngelarang kakak buat bolos?" godanya mengingatkan masa-masa dulu

Menampakkan wajah cemberutnya, Nina memutar otak supaya bisa pulang bersama Bima.

"Kakak ikut ke kampus, tunggu Nina kelar kuliah 80 menit dan kita pulang bareng sekalian Nina ketemu Asa. Ya ya?" ucapnya dengan wajah antusias berhasil mendapatkan ide cemerlang.

"Kakak ikut tapi nggak perlu anter kakak sampe rumah. Kejauhan kamunya, nanti kakak naik taksi aja. Ketemu Asa bisa lain kali. Ayo..."

Senyum Nina mengembang mendengar Bima setuju walaupun tidak jadi bertemu Asa. Membantu Bima menaruh barang-barang di jok belakang sebelum duduk di samping kemudi, Nina masih mengukir senyumnya saat Bima mulai menjalankan mobilnya.

***

12-12-2015 / 16:20 WIB

Second Love BlossomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang