SLB - 34

106 8 1
                                    

Masih belum ada kabar dari Bima hingga malam menjelang. Berkali-kali coba dihubunginya nomor Bima tapi tetap saja tidak bisa. Nomor yang dihubungi berada di luar jangkauan. Seketika pikirannya terlintas untuk menghubungi mbak Nisa dan menanyakan nomor yang bisa dihubungi di surabaya. Aahh kenapa tidak terfikirkan sedari tadi? batinnya geregetan.

"Nomor mbak Nisa nggak bisa dihubungin jugaa" rengek Nina frustasi.

Sinta yang melihat Nina yang sangat khawatir dengan keadaan Bima hanya bisa menepuk pelan pundak Nina. Ia juga berancana menginap untuk menemani Nina agar tak merasa sendirian menghadapi kekhawatirannya akan keadaan Bima.

"Hubungin nomornya kak Krisna coba" Sinta mencoba memberi saran ketika Nina lagi-lagi tak bisa menghubungi nomor mbak Nisa.

"Nggak punya, buuk" Nina benar-benar frustasi harus bagaimana lagi caranya agar bisa menghubungi Bima. "Dia bilang sama gue kalo dia sayang sama gue, kalo dia bakal ngelakuin apa aja buat gue bahagia. Tapi sekarang kenapa saat gue khawatir sama dia gini dia malah nggak ada kabar. Apaa 7 tahun lalu kita pisah itu akan terulang lagi?" Air mata Nina sudah tak terbendung lagi dan mengaliri pipi mulusnya. Tak sanggup sebenarnya Nina membayangkan berpisah dari Bima

Sinta segera memeluk Nina. "Lo kebiasaan mikirnya gitu, dia pasti punya alasan kenapa sampai sekarang dia belum bisa ngasih kabar sama lo"

"Emm... cuma ada satu cara lagi biar bisa dapet info dan lo bisa menghubungi Bima" tambah Sinta sedikit ragu.

"Apaa???" Nina tampak antusias mendengarnya

"Tante Rahma, kita bisa dapet info nomor kak Krishna atau nomor rumah mereka atau nomor rumah Bima di surabaya atau bahkan nomor tante Almira dari tante Rahma. Tapi--"

"Tapi kenapa??"

"Tapi ini udah malem, nak. Gak enak ganggu tante Rahma jam segini"

"Nggakpapa gue telfon tante rahma aja sekarang tanpa harus ke rumahnya, gue punya nomornya" Nina mengutak-atik hpnya mencari nomor tante Rahma.

"Nak, lo bisa nggak sih sabar sampe besok aja. Ini udah waktunya orang istirahat tidur malem. Lo tau itu donk harusnya. Yang penting kita udah dapet cara biar bisa ngubungin Bima besok. Lagian ya kalo toh kita dapet info dari tante Rahma, berapa banyak orang yang lo gangguin jam istirahatnya cuma karna rasa nggak sabaran lo itu. Mending kita tidur aja, besok baru kita cari tahu" tutur Sinta

"Nggak mauu, gue maunya sekarang!"

"Ck... lo tuh ya, gini nih males gue ngasi tau orang bebal kayak lo! Tau sopan santun nggak sih lo jam segini ganggu orang tidur?" seru Sinta sedikit menaikkan suaranya dan merebut hp Nina.

Nina justru semakin menangis dan terisak. Kepalanya ia benamkan sebagian di bantal. Sinta tahu Nina tak menangis karena kata-kata tajamnya melainkan karena rasa frustasinya.

"Udah, sekarang lo istirahat aja. Tunggu sampai besok. Oke?" suara Sinta melembut dan tangannya terulur menghapus air mata Nina sebelum menarik selimut dan mematikan lampu utama serta menyalakan lampu tidur di nakas samping tempat tidur Nina.

Berkali-kali Nina mencoba memejamkan matanya tapi justru lagi-lagi matanya terbuka karena tak bisa tidur dan masih saja memikirkan Bima. Dilihatnya Sinta yang sudah terlelap dalam tidurnya. Nina meraih hp nya dan berbalik memunggungi Sinta. Iseng, dibukanya galeri hp nya yang menampakkan beberapa fotonya berdua bersama Bima. Hatinya berteriak rindu akan sosok Bima yang memenuhi layar hpnya sepanjang ia menggeser foto-foto yang ada. Lagi, air matanya mengalir tanpa isakan.

Hanya 7 jam mungkin biasanya paling lama ia tak menghubungi atau tak mendapat kabar Bima dalam sehari, dan Nina tak pernah mempermasalahkan jika kondisi mereka baik-baik saja. Bukan seperti saat ini ketika jelas-jelas ia mendapat kabar Bima kecelakaan, meskipun belum genap 7 jam ia tak mendapat kabar langsung dari Bima maklumlah jika Nina benar-benar merasa frustasi karena kehawatirannya tak kunjung terpecahkan.

Second Love BlossomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang