SLB - 18

111 6 2
                                        

Memasuki komplek perumahan Sinta, sekelebat kenangan masa kecilnya menguar dalam ingatan Bima. Sekilas kepalanya menoleh pada bekas rumahnya yang sekarang sudah ditempati penghuni lain. Berandai-andai jika saja dulu ia dan keluarganya tak pindah ke surabaya, sudah pasti ia tidak akan menyakiti hati gadis yang tengah ia bonceng di belakangnya itu. Ia juga tidak akan meninggalkannya minggu depan karena harus berpisah jarak dan menjalin hubungan jarak jauh. Andai saja…

Begitu motor berhenti di depan rumah Sinta, Nina langsung turun melepas helm dan mengabaikan Bima untuk segera masuk dan bertemu Sinta di dalam rumahnya. Bima tak mengerti apa yang terjadi antara kekasih dan teman kecilnya itu. Ia kemudian menyusul mendekati rumah sahabat bundanya yang tak ada perubahan berarti semenjak terakhir kali dilihatnya, 7 tahun lalu.

Sandra, kakak Sinta berjengit kaget begitu membuka pintu dan melihat Nina yang tak sabar menanyakan keberadaan Sinta. Matanya terusik akan sosok di belakang Nina yang seakan tak asing baginya.

"Bima ya?"

Bima yang disebut namanya tersenyum menjawab dengan anggukannya. "Kak Sandra, apa kabar?"

Semakin tak sabar malah melihat kakak sahabatnya itu justru berbincang dengan pacaranya, Nina segera masuk ke dalam rumah. Mencari Sinta dan membiarkan pacarnya dan kakak sahabatnya itu berbincang. Tatapan penasaran akan sikap Nina dan pertanyaan ada hubungan apa antara Bima dengan Nina, dilayangkan Sandra begitu Nina sudah masuk ke dalam rumahnya.

Di dalam rumah, Nina lekas menuju ke arah kamar Sinta. Tetapi tiba-tiba pandangannya melihat sosok yang dicarinya datang dari arah pintu belakang rumahnya. Pandangan mereka seketika bertemu, Sinta yang awalnya kaget dengan keberadaan Nina di dalam rumahnya seketika merubah raut wajahnya datar seakan tak peduli atas keberadaan Nina. Kakinya terus melangkah ke arah kamarnya masih dengan mengabaikan keberadaan Nina.

Sementara Nina yang melihat raut wajah dan sikap Sinta yang mengabaikannya merasa sedih dan seketika melangkahkan kakinya cepat menyusul Sinta. Betapa mungkin sikap dan kata-katanya telah menyakiti sahabatnya itu sehingga Sinta yang tak pernah mengabaikannya kini justru melakukan sebaliknya.

Dipeluknya tubuh Sinta dari samping yang otomatis menghentikan langkah kaki Sinta. Membenamkan kepalanya di bahu Sinta, Nina berujar lirih dengan isakannya "Buuk... maaf..."

Sinta yang mendengar ucapan maaf Nina masih bergeming tak membalas pelukan dan permintaan maaf Nina. Ia hanya menolehkan kepalanya menyembunyikan matanya yang berkaca dari Nina.

"Gue jahat sama lo. Maaf..." lanjut Nina lagi dengan air mata yang semakin mengalir deras dan membasahi bagian bahu pada kaos yang dipakai Sinta.

Menghapus cepat air matanya yang menetes, Sinta melepaskan pelukan Nina dan terus berjalan menuju kamarnya tak menghiraukan Nina yang terisak.

Di dalam kamarnya, Sinta juga menangis dengan posisi duduk dipinggir kasurnya dan membelakangi pintu. Nina menyusul beberapa saat ke dalam kamar Sinta dan menemukan sahabatnya itu dengan punggung yang berguncang, menangis. Nina berlutut disamping kasur dan memeluk Sinta.

"Gue harus apa biar bisa lo maafin, buk?" ucap Nina yang tersedu dengan tangisannya.

"Gue nggak mau kehilangan sahabat kayak lo. Gak mauu..." sedunya lagi

Sinta masih bergeming dengan linangan air matanya yang terus mengalir dan masih tak membalas pelukan Nina.

"Gue putusin dia kalo dengan itu lo bisa maafin gue. Iya, gue nggak papa" ucapnya mengangguk-angguk yakin dengan apa yang diucapkannya. Although in the deepest of her heart, she still love him so much.

"Demi persahabatan kita, gue lebih baik kehilangan dia daripada lo, buk" kali ini Nina melepas pelukannya dan tersenyum yakin menatap Sinta. "Dan, iya gue mau lo kenalin sama temen-temen cowok lo yang menurut lo baik buat gue" tambahnya lagi dengan menggenggam tangan Sinta.

Second Love BlossomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang