Coffee in love?

1.7K 52 0
                                    

Sorenya, aku benar-benar akan ngedate sama Julian. Iya, Julian tadi siang. Kami janjian untuk ketemuan langsung di BIP. Kalian tau, apa itu BIP? Bandung Indah Plaza. Dulu, disitu aku sering makan bareng Koko sepulang pramuka.

Selama beberapa tahun setelah lulus SMA, rasanya ini adalah pertama kali lagi, aku jalan dengan laki-laki. Rasanya, seperti puber kedua. Aku sempat pusing nyari baju. Tapi, akhirnya aku berpikir lagi. Belajar dari pengalaman, jangan terlalu menaruh harapan dulu. Di PHP kan, sakit. Lagipula, Julian baru kenal tadi siang kan?

***

Aku turun dari taksi tidak lama kemudian. Aku memasuki kedai kopi yang bernuansa cokelat disana-sininya. Nyaman. Diujung sana, ada Julian yang melambaikan tangan padaku. Aku berjalan menujunya. Setelah cipika-cipiki dan basa-basi kami mulai ngobrol.

Julian mengaduk kopi arangnya berkali-kali. Aku memilih pesan americano karena tadi siang sudah minum kopi hitam.

"Kok, nggak diminum? Di aduk aja?" tanyaku akhirnya pada Jul.

"Habis, nggak mau ngendap arangnya.."

"Ya nggak bisa ngendap lah Jul, namanya juga kopi arang.."

"Kayak hidup ya.."

"Maksudnya?"

"Ya kopi arang ini, diaduk kayak apa, gak bakalan ngendap, kayak hidup manusia, pasti bakalan punya suatu masalah, mau dilupain kayak apa juga bakal muncul lagi.."

Aku tertegun dengan filosofi kopi arang menurut Julian.

Dan sejak itu kami sering cari-cari tempat untuk ngopi atau sekedar tempat untuk nongkrong. Tak jarang, setelah ngopi dilanjutkan dengan nonton bioskop ataupun mengajak Julian main ke rumahku.

Gimana reaksi Bunda?

Bunda sangat welcome pada Julian. Kata Bunda, Julian mirip artis Korea. Aku sempat ketawa sih dengarnya. Tapi, memang, Julian wajahnya berahang gitu, kayak anak boyband.

***

Hari ini Jul, ngajak aku untuk pergi ke toko kaset. Aku sih, mau saja. Disana, aku langsung nyari kasetnya Adele, asal kalian tau, di masa itu, Adele adalah penyanyi wanita terbaik yang lagu-lagunya sangat berhasil bikin kami terpecah-pecah hatinya. Setelah itu kami pulang.

Didalam mobil, Julian menyalakan kaset yang tadi dibelinya. Lagu lawas dari Kahitna, Cantik.

"Suka ya? Sama Kahitna?" tanyaku kemudian.

Julian asik bernyanyi sambil menaik-turunkan kepalanya. Lucu sekali.

"Diana.."

"Iya, Jul?"

Tangan kiri Julian meraih tanganku. Tangan kanannya masih memegang kemudi. Aku kaget. Matanya masih menatap lurus ke jalan, sesekali ekor matanya melihat ke arahku.

"Jadi, aku ngerasa kita sudah sama-sama dewasa.." ujar Julian.

"Terus?"

"Kenapa, nggak kita jalanin aja?"

"Maksudnya?"

Bukannya pura-pura nggak tau. Aku tau maksud Julian. Dia nembak aku. Tapi, maksud aku, apa dia serius?

"Apa harus, aku bilang, Diana, aku sayang kamu, gitu?"

Mendadak aku ingat pernyataan Koko.

"Apa harus, aku nyatain kalau kita pacaran?"

Hah, apasih aku, bisa-bisanya. Ngapain mikirin orang itu? Diana, ada yang lebih jelas, lebih ganteng, dan lebih sayang kamu daripada orang itu! Julian!

"Jul, tapi aku nggak bisa, kalau nggak serius.." ujarku akhirnya.

"Aku tau, usia kita sudah bukan saatnya lagi cari untuk main-main.. Makanya, setelah wisuda nanti, aku mau ngajak kamu tunangan.."

Aku menggenggam tangan Julian erat. Kecupan kecil mendarat dipipi Julian. Wah, bisa aku melakukan hal seperti itu. Saking bahagianya.

Seklise itu kami jadian.

Kamipun bernyanyi bersama sepanjang perjalanan pulang ke rumah.

"Ada hati yang termanis dan penuh cinta
Tentu saja kan ku balas seisi jiwa
Tiada lagi-tiada lagi yang ganggu kita
Ini kesungguhan,
Sungguh aku sayang kamu.."

***

Dulu Kita Masih SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang