Besoknya, aku pergi ke Bandara untuk mengantar Julian. Iya, hari ini Julian berangkat ke Swedia. Berat rasanya melepas dia, melepas semua kenangan kami. Melepas segala mimpi kami berdua.
"Hati-hati ya Jul.." kataku pada Julian.
Julian memelukku.
"Pasti Diana.."
Ku lepas pelukan Julian. Ku tarik kerah kemeja yang dikenakannya. Ku cium dengan lembut bibir Julian. Begitu lama. Kami tidak peduli lagi dengan yang disekitar kami. Ku lepaskan perlahan tautan antara bibir kami. Mataku berkaca-kaca. Mungkin ini adalah ciuman terakhir kami. Aku akan merindukan Julian, selamanya.
"Aku sayang kamu, Diana.."
"Aku juga sayang kamu, Julian.."
Setelah itu kami berpelukan kembali. Pelukan terakhir sebelum Julian benar-benar pergi.
Perlahan, Julian melepaskan dekapannya. Dan berjalan menjauh. Memasuki sebuah lorong. Kemudian menjauh. Dan hilang.
***
Setelah mengantar Julian aku langsung kembali ke kantorku. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan. Dan juga, aku akan mengundurkan diri.
Kenapa, kenapa aku memilih keluar dari pekerjaan yang sudah hampir dua tahun ini aku tekuni? Karena, aku sudah tidak mau lagi mengingat semuanya. Semua kisah tragisku.. Dan bahkan, aku ingat saat pertama kali aku melamar pekerjaan disini, bersama Julian.
Aku jadi ingat pada Julian yang mati-matian bolak-balik Jakarta-Bandung hanya untuk nemenin aku mencari pekerjaan.
Aku juga ingat pada Julian, saat dia berusaha membujuk aku untuk bekerja dikantornya saja.
Aku ingat perkataannya kala itu:
"Hon, kamu disini aja.. Udah gak pake interview deh, langsung jadi sekertaris aku.."
Tapi Julian sudah terlampau baik, bahkan aku sampai sungkan padanya.
Dan aku ingat, saat aku mendapat surat dari kantor ini bahwa aku diterima kerja. Aku ingat, aku ingat pelukan hangat dari Julian saat kami membaca surat itu berdua. Aku ingat, betapa deg-degan sekali saat kami membuka amplop surat itu berdua.
Aku ingat..
Dan saatnya, aku menutup semua ingatan itu. Untuk memulai hidup baru.
Mungkin Julian benar, aku sayang dia. Dia tau. Tapi dia mengerti, ada seseorang yang posisinya akan selalu tertinggi dihatiku. Bahkan, diapun tidak bisa menggantikan posisi itu.
Aku baru mengerti apa maksud dari Julian, semua yang dia katakan padaku.
Pernikahan, bukan main-main.
Seperti obsesi Julian pada kopi arang. Kopi kesukaannya. Dimana kopi arang tidak akan pernah bisa mengendap, seberusaha apapun kamu mencoba mengendapkannya, arang itu pasti akan naik lagi.
Dan seberusaha apapun aku meminta Julian untuk berada disisiku lagi, tidak akan pernah bisa.
Julian sudah terbang pada tempat yang tepat.
Tapi, kenapa, harus ada obsesi?
Iya, aku mengerti Jul, aku mengerti bagaimana caramu menunjukan cemburumu. Aku mengerti kenapa pada akhirnya kamu memilih merelakan.
Mungkin selama ada Julian, obsesiku bagai mati tertutup cinta kami yang begitu besar. Namun, ketika obsesi itu kembali hidup? Akhirnya cinta yang besar itu, mau tidak mau harus berhenti berkobar.
Kamu membuatku sadar Jul, bahwa: Bagimana jika,
Bagaimana jika, orang yang diam-diam kamu cintai, juga mencintaimu..
***
Aku harus menemui, Koko!
Sebelum terlambat..***