Dan hari itu adalah hari terakhir aku berbicara panjang dengan Julian. Besoknya aku pulang ke Jakarta. Diantar Julian, memang. Tapi selama perjalanan kami hanya banyak diam. Setelah sampai hanya berucap sepatah kata dan dia pulang. Tanpa pelukan.
Dan setelah itu, aku tidak menghubungi Julian sama sekali. Diapun sama. Sudah hampir seminggu kami tidak ada kepastian. Padahal pernikahan kami tinggal dua minggu lagi.
Tidak kuat dengan keadaan seperti ini, aku nekat pulang ke Bandung. Aku langsung ke kantor Julian, tanpa memberi tahunya terlebih dahulu. Semua harus jelas.
***
Aku langsung ke kantor Julian, dan langsung melihat dia sedang di berdiri di lobi. Melihat kehadiranku, Julian terlihat agak kaget. Lalu dia tersenyum sedikit dipaksakan.
"Diana, kok mau kesini nggak ngabarin?" katanya kemudian.
"Kamu sibuk?"
"Nggak.. Tadi habis meeting."
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.."
"Aku juga.."
***
Kami pergi ke salah satu tempat makan dekat kantor Julian. Duduk berhadapan. Canggung sekali. Aku tidak pernah merasa secanggung ini dengan Julian.
"Jul, kamu kenapa nggak ngehubungin aku?" akhirnya aku buka suara.
"Aku hanya ngasih kamu waktu, Di.." suara Julian terdengar pedih.
"Waktu untuk apa? Jul, minggu depan uang gedung udah harus kita lunasin, kita belum ngepasin baju nikah juga.."
Julian terdiam.
"Di, aku mau nikah sama kamu. Aku mau banget. Aku sayang sama kamu. Tapi, aku mau nikah bukan hanya karena gedung udah terlanjur dipesen atau yang lainnya.."
Julian menghela nafas.
"Aku mau nikah, kalau hati kamu memang bener hanya untuk aku.." katanya kemudian.
Aku bungkam. Mataku memanas.
"Kamu aneh Jul, kamu jahat." aku tidak kuasa lagi menahan air mataku.
Julian memelukku. Pelukan yang tak sehangat biasanya.
"2 minggu lagi kita nikah.. Jul.." ujarku tersedu.
"Masih 2 minggu lagi kan? Masih ada waktu untuk kamu pertimbangkan lagi.."
Shit! Persetan dengan jalan pikiran Julian.
"Kenapa sih Jul? Mau kamu apa?" tanyaku kesekian kalinya.
Julian hanya diam.
Mencium pucuk kepalaku.
"Aku rasa, apa yang sudah kita rencanain sebaiknya ditunda dulu.. Sampai kamu benar-benar bisa mempertimbangkan semuanya.."
***
Akhirnya pernikahanku diundur. Bunda dan seluruh keluargaku awalnya kurang setuju, tapi akhirnya mereka paham.
Sore itu aku main ke rumah David, masih ingat kan? Dia sepupuku itu loh. Dia sekarang tinggal di Jakarta bareng istrinya.
"Kemarin Koko kesini Di.." kata David saat aku sedang gendong anaknya yang baru berusia 4 bulan.
Aku terdiam. Nggak memperdulikannya lagi.
"Oh iya, dia udah denger kalau lo gak jadi maried.."
Aku menghela nafas lagi. Tersenyum getir.
"Bukan nggak jadi, di undur.."
"Dia, bakal pindah ke Singapore.."
Terus? Urusannya sama aku apa? Mau dia pindah ke Singapore atau kemanapun ya terserah dia. Peduli?
"Ya baguslah, biar dia jauh-jauh dari aku.."
David menatapku sepintas.
"Dia, sayang kamu Di."
***
Dua bulan berlalu, belum ada kabar dari Julian. Berkali-kali aku ngehubungin dia sama sekali nggak direspon. Aku belum bisa ke Bandung karena kerjaanku juga sedang numpuk-numpuknya. Aku mengalihkan semuanya pada pekerjaan. Aku forsir mati-matian tenagaku. Tidak ada nafsu untuk makan. Tidak ada nafsu untuk melakukan apapun. Kecuali, merindukan Julian.
***
"Aku rasa, semua memang harus berakhir dulu Di, sampai kapan? Aku belum tahu.."
***