Entah kenapa, sejak sering diajakin ngopi sama Julian, alias calon adik iparku itu, aku juga jadi suka kopi. Kalau Julian suka kopi arang yang katanya bagaikan problema kehidupan, aku lebih suka cappuccino, olahan dari espresso yang ekstrak kopinya lebih kuat, likes ma feel.. Dan justru, cappuccino itu ada macam-macam rasa, manis, pahit, gurih, yang memperlihatkan betapa hidup itu tidak hanya diisi dengan masalah, tapi manis juga, gurih juga. Yahaha, bisa juga kan aku kayak Julian?
Tapi memang mungkin hari itu adalah hari apesku, semua kedai kopi yang sering aku kunjungin mendadak tutup karena ada berita kopi yang ada Sianidanya itu loh, kamu masih ingat nggak? Dan sialnya lagi hujan deras mengguyur wilayah Bandung. Mana laper juga kan? Setelah agak redaan aku langsung ke KFC dekat SMA ku dulu.
Saat masuk ke KFC, hujan turun lagi semakin deras. Aku segera pesan mocca float dan sepotong burger.
"Hujan gini, kok minum es?"
Dengan nada yang sama. Aku rasanya pernah mendengar pernyataan semacam ini.
"Rin?" kataku saat menoleh.
Arin. Iya, dia duduk dihadapanku sambil meletakan cream soupnya.
Sama seperti kejadian sekitar 5 tahun yang lalu. Bedanya, aku pesan burger, bukan nasi box.
"Kok nggak dijawab?"
"Apanya?"
"Hujan gini, kok minum es?"
"Nggakpapalah.. Suka aja.."
Hujan semakin deras. Bahkan disertai suara petir.
"Apakabar, kang?"
"Baik, kamu?"
"Baik.."
"Sudah nikah kok, nggak ngundang?"
Arin tersenyum getir.
"Aku salah ngomong ya?"
"Akang percaya nggak, jodoh itu, ditangan Tuhan?"
"Ya.. Percaya sih.."
"Tapi gimana mau jodoh Kang, kalau Tuhannya saja beda.."
Aku menelaah kalimat Arin.
"Maksudmu, beda keyakinan?"
Arin mengangguk.
"Rin, bagiku, beda keyakinan itu bukan karena agamanya berbeda, tapi saat kamu yakin dengan seseorang, tapi dia nggak yakin dengan kamu, atau sebaliknya.."
"Tapi akhirnya kami putus.."
"Bukannya dulu setahuku kamu sama kang.. Fikri ya?"
"Cuma sebentar, beda presepsi. Putus."
"Terus, kenapa kamu masih mau jalanin hubungan, sedangkan kamu tau kalau itu nggak akan berlanjut?"
"Awalnya aku pakai prinsip, jalanin aja dulu.. Sampai pada akhirnya berubah menjadi sampai kapan?"
Arin menarik nafas panjang. Betapa berbedanya dia dengan Arin yang kukenal saat SMA dulu.
"Setelah lulus SMA, aku sudah nggak semangat lagi kuliah, ibaratnya, cintaku sudah habis di Alvin, cowok itu.."
"Terus tiba-tiba Mamah jodohin aku dengan anak temannya yang tujuh tahun lebih tua dariku.."
Aku mendengarkan, tidak berani menyelak perkataannya.
"Awalnya aku berontak, hampir bunuh diri malah, karena saking cintanya aku dengan Alvin.." kalimatnya Sendu, matanya menerawang, seperti mengingat sesuatu.
"Tapi apa boleh buat.."
"Akhirnya kamu mau nikah sama yang dipilihin orang tuamu?" tanyaku.
Arin mengangguk.
"Karena memang jodoh ditangan Tuhan.."
"Tuhan membuatku berpisah dengan Alvin karena itu yang terbaik, dan dengan hilangnya Alvin, pasti ada penggantinya.. Ya suamiku sekarang.."
"Dia sabar, dia mau mengerti.. Karna memang benar kata orang, cinta tumbuh karena terbiasa.." Arin tersenyum.
"Dan sekarang, nyatanya aku lebih bahagia dengan hidupku, aku juga nggak tau, apakah aku juga akan sebahagia ini seandainya jadi menikah dengan Alvin.."
"Kamu hebat Rin, hebat sekali. Sejak SMA, jujur, aku kagum banget sama kamu.. Kamu memang pantas mendapat kebahagiaan.."
"Ya begitu, intinya Kang, sesuatu yang hilang pasti akan diganti dengan yang baru.. Pergantian, regenerasi, pasti ada.. Dan itu selamanya.."
Hujan sudah mulai reda. Hampir sudah tidak terdengar lagi suara dentingannya. Yang ada, hanya bulir-bulir air hujan yang mengalir didinding kaca kedai ayam bernuansa merah ini.
"Kang, aku pamit ya.. Suamiku sudah jemput didepan.."
Aku mengangguk mantap.
***
"Sal, aku kekosan ya?"
***