Dewasa

1.8K 42 0
                                    

Setelah mendengar cerita dari Arin, aku tertegun betapa kuatnya dia. Dan aku merasa kalah memperjuangkan perasaan. Aku merasa mudah menyerah hanya karena usia dan mungkin pendapat.

Tapi kenyataannya, setelah menemui Salsa, aku belun kunjung berani untuk mengungkapkan perasaanku. Dan hubungan diantara kami hanya sekedar teman dekat. Teman jemput. Teman nonton. Teman jalan. Semuanya indah, dengan status teman. Masa?

Nggak. Kadang saat kami lagi bareng, aku susah sekali mengendalikan sesuatu dari dalam dadaku, lalu mendadak menjalar ke seluruh tubuh. Susah sekali aku untuk bisa menahan betapa besar perasaanku tertimbun didalam hati ini.

Jika boleh kupinjam kata-kata Diana, waktu memang sangat misterius. Tidak ada yang pernah tau kapan waktu akan menjebak. Dan aku menjadi teman dekat Salsa sudah bertahun-tahun tanpa ada peningkatan. Yang ada, beberapa kali aku menjadi teman curhatnya tentang beberapa lelaki yang dekat dengan dia lalu meninggalkannya. Beberapa kali aku melihatnya menderita karena disakiti. Beberapa kali aku hanya bisa menahan, menahan dan menahan perasaanku untuk selalu melindungi dia.

"Besok aku udah kerja di Jakarta, keterima, alhamdulillah banget deh.." kata Salsa suatu hari saat kami akan pulang ke Bandung. Salsa sudah wisuda sekitar tiga bulanan yang lalu. Dan aku masih kuliah dan masih lama wisudanya. Jadi, sudah ku jelasin kan, aku ini teman jemputnya Salsa. Sudah sangat sering aku jemput dia dari kosnya di Jakarta untuk pulang ke Bandung, atau sebaliknya, dia jemput aku di Bandung untuk nginap di kosnya. Sudah sedekat ini, tapi, kami beneran nggak ada apa-apa.

"Oh iya? Bagus dong, perusahaan apa?"

"Kayak resor grup gitu deh, punya temen ayah sih.. Jadi nggak susah masuknya.."

"Keren sih, kamu enak Sal, udah kelar kuliah, nggak berapa lama langsung dapet kerja.." kataku sambil memutar stir mobil. Hanya dibalas dengan senyuman manis Salsa.

"Nggak kayak aku, mahasiswa madesu begini.." kataku kemudian. Salsa ketawa.

"Pak Guru, siapa yang bilang gitu ih?"

Salsa sering memanggilku seperti itu, katanya lucu. Dan cocok. Ya, mungkin memang nanti pada akhirnya aku jadi guru matematika. Karena Mama.

"Ya gimana ya Sal, aku tuh minder kalo lagi sama kamu gini, aku anak kuliahan, pengangguran lagi, duit juga masih setoran dari mama, belum bisa nyari duit sendiri, nggak kayak kamu, mandiri.."

"Tapi aku nggak keberatan kok, punya pacar anak kuliahan.."

Eh? Aku memelankan mobilku. Ekor mataku melirik Salsa. Salsa meraih tanganku.

"Maksud kamu?" tanyaku.

"Iya, Vid, aku nggak keberatan kok punya pacar anak kuliahan.."

Dan melalui ini, satu kata lagi untuk Salsa. Dewasa. Dia lebih dewasa daripada aku, bagaimana cara dia menyampaikan. Tenang.

"Ya makanya.. Kamu bantuin pacar kamu biar cepet kelar kuliahnya.."

Satu lengkungan dibibirku mengembang. Jadi, sesimpel ini aku dan Salsa jadian. Tanpa aku nembak. Tanpa dia nembak. Hanya dengan satu pernyataan yang sudah menggambarkan semuanya.

***

Dan setelah itu, kehidupanku dan Salsa berjalan begitu bahagia, setelah lulus aku magang di salah satu perusahaan distrik di Jakarta. Bukan jadi guru matematika, kenapa? Awalnya mama tetep bersikukuh agar aku jadi guru matematika yang katanya susah dicari dan paling besar bayarannya. Tapi itu bukan passion aku, dan setelah rundingan dengan keluarga, mama mengijinkan aku untuk kerja di Jakarta. Dua tahun setelah itu aku dan Salsa menikah dan kembali tinggal di Bandung, jadi aku musti bolak-balik Jakarta-Bandung, aku dan Salsa sempat tinggal di Jakarta sekitar 3 bulan, tapi karena aku pindah dinas di kawasan Lembang, jadi kami harus kembali ke Bandung. Hidup kami makin bahagia dengan hadirnya seorang bidadari mungil bernama Shania di keluarga kami.

***

"Kenapa, pada akhirnya kamu nyatain kalau aku pacar kamu?" tanyaku pada Salsa suatu hari saat kami selesai makan malam.

"Soalnya aku tau, kamu nggak bakalan nolak.."

END

Dulu Kita Masih SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang