tiga puluh satu

4.8K 773 263
                                    

                  

Gue membolak-balik buku Fisika gue dengan malas, mantengin rumus dan angka-angka aja gue udah rasanya pengen muntah angka plus rumus sekarang juga. Gue sama sekali ga ngerti apa yang terjadi sekarang, apa yang sedang dijelaskan oleh guru yang berada di depan sekarang. Ininih yang gue benci dari hari Rabu, pelajarannya susah semua.

Dasar Fisika, kebanyakan rumus.

Dan gobloknya gue milih lintas minat Fisika.

Gue mendesah pasrah karena sama sekali ga ngerti apapun. Sebenernya sama sekali ga penting buat gue untuk belajar Fisika, ga ada pentingnya. Lagian useless banget ngitungin kecepatan buah apel yang jatuh dari pohonnya atau ngitung kedaleman sumur atau ngitung kekuatan lensa pada kacamata rangkap.

Jadi gue tidur di dalam kelas Fisika yang notabennya sangatlah tidak penting buat gue. Serius, gue juga sama sekali ga ada cita-cita buat jadi pilot atau pekerjaan apapun yang berhubungan sama Fisika.

Tapi hari ini bagaikan surga buat gue; gue duduk dipojok belakang dengan Ahmad –cowok berbadan besar nan lebar—yang bisa jadi tameng tiba-tiba disaat gue butuh, contohnya pada saat-saat seperti ini. Sebelum naruh kepala gue di atas meja, gue meraba-raba laci meja gue untuk mencari earphone. Ini semua demi ketenangan hidup gue gengs.

Pas gue udah nyalain lagu, gue menepuk-nepuk bahu Ahmad. "Mad, Mad," bisik gue. Tapi dia ga jawab. "Psst, Ahmad ganteng, noleh dong."

Dan dia langsung noleh, ngasih gue tatepan ada-apa-lo-manggil-gue. Alisnya naik sebelah menandakan dia nanya apa yang mau gue omongin.

Yailah, giliran dipanggil ganteng aja langsung noleh. "Mad, kan badan lu berisi tuh ya... engga, bukan gendut sumpah. Cuma berisi dan besar," kata gue dengan pelan. "Jadi... gue kan mau tidur tuh, tolong halangin gue ya supaya Bu Betha ga liat gue lagi tidur."

"Lo berani bayar berapa?"

Gue melotot. "Lindungin aja pake badan lu yang gede, apa susahnya sih tolol?" ujar gue, menekan semua kata yang berada di dalam kalimat gue.

Dia ngangguk.

"Parah lu, tot," kata Nael yang ada disebelah gue.

Gue menoleh ke tempatnya, dia lagi sibuk ngerjain soal yang ada di papan tulis dengan buku Sejarah punya Lina yang dia sisihkan. "Masalah?"

"Kerjain dulu tuh pr Sejarah yang bener."

"Sorry man, gue udah ngerjain semalem," papar gue, senyum sumringah akibat bangga. "Udah ah, gue tidur dulu. Jangan ganggu, princess mau bocan alias bobo cantik."

Gue tidur dengan volume earphone yang kecil. Mata gue ngantuk, serius, udah sekarat. Kalo ada emak gue, udah 5 watt. Gue juga ga ngerti kenapa si nyokap ngomong gituan. Yang pasti gue sering denger itu.

Mungkin setelah kurang lebih sepuluh menit gue tidur dan sekarang Nael nepuk-nepuk bahu gue. Setelahnya, gue bangun dan langsung angkat pandangan gue disusul dengan ketawa anak-anak satu kelas.

"Ada apaan?" tanya gue ke Nael.

Tapi yang jawab bukan Nael, melainkan Bu Betha. Mampus, bisa mati kutu dah gue. "Kamu yang daritadi tiduran dipojokan," katanya sambil nunjuk gue.

"Kenapa, Bu?"

"Ini caranya gimana?" tanyanya sambil menunjuk ke sebuah soal.

Gue menyipitkan mata gue sembari suara gelak tawa anak-anak satu kelas masih kedengeran di telinga gue. Gue cari-cari rumusnya.

[1] fangirl ;; ltTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang