Chapter 22: Candles

24.7K 1.4K 73
                                    

Walaupun agak sedikit ragu-ragu, akhirnya aku menerima ajakan Bernard untuk berbicara dengannya di coffee shop terdekat. Saat ini kami berdua hanya diam sambil menatap cangkir kopi yang ada di depan kami. Aku dapat melihat tingkah Bernard yang terlihat gugup. Padahal dia yang awalnya mengajak berbicara, kenapa sekarang malah diam saja? Aku menyeruput ice vanilla latte di depanku berkali-kali karena tidak tahan dengan suasana awkward ini. Setahuku, dia belum pernah bersikap seperti ini sebelumnya.

"Gimana kabar Kelly?" Akhirnya aku memulai pembicaraan karena sudah tidak sabar lagi. Aku tidak mau membuang waktu lebih lama lagi. Lagipula aku benar-benar lapar.

"Gue udah putus sama dia." Katanya. Aku benar-benar kaget. Padahal mereka belum lama pacaran, bagaimana bisa mereka tiba-tiba putus?

"Ooooh." Aku hanya bisa ber-oh karena tidak tahu harus mengajaknya bicara masalah apa lagi. Lagipula kan aku keisni karena dia yang ada urusan, bukan karena aku ingin mengajaknya mengobrol basa-basi seperti ini.

"Lo masih sama Ryu?" Tanya Bernard. Oh iya hampir saja aku lupa bahwa aku belum mengklarifikasi hubunganku dengan Ryu waktu kami bertemu dulu.

"Gue sama Ryu ngga pernah pacaran kok. Waktu itu dia lagi butuh sesuatu aja dari gue." Jawabku memberi penjelasan.

"Oooh gitu ternyata. Sebenernya gue ke sini mau ngomong sesuatu sama lo." Katanya. Dari tadi juga aku menunggu untuk dia berbicara. Kenapa sih dia harus berputar-putar kalau berbicara? Perasaan dulu dia blak-blakan deh. Apalagi waktu dia memutuskan hubungannya denganku. Sampai-sampai waktu itu aku ingin menonjok mukanya berkali-kali.

"Ngomong aja." Balasku.

"Setelah putus dari lo, gue baru sadar kalo lo ternyata emang cewek terbaik yang pernah gue temuin." Katanya. Maksudnya apa memujiku seperti ini? Jangan bilang bahwa dia ingin balikan. Aku benar-benar sudah tidak ada nafsu sedikitpun untuk pacaran dengan orang sepertinya.

"Sekarang gue sadar kalo selama ini gue bener-bener udah ngga fair sama lo. Gue mau minta maaf karena kebodohan gue waktu itu. Gue mohon buat lo untuk nerima gue lagi..." Katanya. Aku seperti terkena kilat. Apa yang aku takut-takutkan muncul. Aku benar-benar bingung harus menolaknya seperti apa. Kenapa sih dia harus berbicara masalah ini sekarang? Padahal perasaan waktu dulu dia minta putus, dia terdengar seperti tidak punya hati. Aku mulai menyesal karena telah setuju untuk datang kesini.

"Kayaknya gue ngga bisa terima lo lagi deh." Jawabku. Aku berusaja berterus terang. Lebih baik aku blak-blakan saja karena mataku sekarang sudah terbuka. Aku merasa orang sepertinya memang tidak patut untuk dijadikan pacar.

"Kenapa? Gara-gara Ryu?" Tanyanya. Kenapa sih dia harus bawa-bawa Ryu? Jelas-Jelas dia tidak mengenal kami berdua secara dekat. Bagaimana bisa dia men-judge bahwa ada apa-apa antara aku dan Ryu.

"Ngga. Ini ngga ada hubungannya sama sekali sama Ryu. Waktu kita putus, gue sadar kalo emang kita berdua ngga cocok." Kataku.

"Tapi lo pernah ngerasain sendiri kan betapa bahagianya kita waktu sama-sama? Emangnya lo ngga mau ngerasain itu lagi?" Tanyanya. Memang sih awalnya kita berdua bahagia tapi apa yang bisa menjamin kalau dia tidak akan memutuskanku demi perempuan yang lebih cantik? Aku sudah cukup merasa bodoh karena memberikan kesempatan pada laki-laki yang hanya perduli dengan fisik saja. Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama lagi.

"Cukup deh Bernard. Jangan nyoba-nyoba buat ngeyakinin gue. Mata gue tuh udah ngga sebuta waktu pacaran sama lo dulu. Bahkan temen-temen gue support gue waktu kita putus." Kataku.

"Temen-temen lo? Emang lo kira temen-temen lo pinter nilai orang? Salah satu dari mereka aja cuman pacaran sama pegawai swasta biasa." Kata Bernard. Aku sudah mulai kesal dengan nada bicaranya. Sebenarnya tujuannya itu mau berbicara baik-baik apa mau membuatku emosi sih?

The Devil in SuitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang