Chapter 26

4.4K 422 52
                                    

One direction - Over again.

Harry

Dia sudah mengetahuinya. Alice sudah mengetahuinya. Mati-matian aku menjaga emosiku lantaran matanya yang memandangku dengan tatapan sendu. Air matanya---sialan, aku benci saat gadisku menangisi hal yang harusnya tidak ia tangisi. Tangan kecilnya terus meremas tanganku kuat seakan mengerti jika ia lepaskan aku akan melakukan sesuatu yang di luar dugaan dan akan menyakitinya.

Brengsek!

Tubuhku sudah di banjiri keringat panas. Aliranya seperti cairan larva panas yang semakin lama semakin meletup-letup di atas kulitku. Cepat atau lambat ia akan segera meninggalkanku, Oh sialan. Aku terus menahan emosiku dan meluapkanya dengan tubuhku sendiri.

Dengan bergertar, Alice membawa satu tanganya mengelus permukaan wajahku. Ia tersenyum dalam lirih. Airmatanya kembali jatuh membasahi kulit wajahnya. Hatiku meringis, tak seharusnya ia melakukan hal ini. Hanya aku yang boleh merasakan hal ini. Ia tidak boleh.

"Aku sudah mencintaimu dengan segala kekuranganmu Harry."

Apa?

"Kau bercanda." Hatiku nyeri menahan sakit saat mendengarnya. Tidak ada yang benar-benar menyayangiku. Tidak ada!

"A--apa? Kau menganggap ucapanku aku hanyalah sebuah candaan?"

"Ya! Tidak ada yang benar-benar menyanyangku Alice!"

Aku membentaknya dan ia kembali menutup kedua matanya. Air matanya terus berjatuhan seiring pedasnya mulutku saat membentaknya. Aku benci saat seperti ini. Dulu---5 tahun yang lalu, aku pernah merasakan hal yang sama seperti ini. Aku merasa De javu. Ricela si jalang sialan itu meninggalkanku. Ia meninggalkanku demi harta Julian dan menikahinya. Brengsek, aku takut Alice akan melakukan hal yang sama dengan Ricela. Dulu wanita itu yang selalu memenuhi fikiranku dan kuimpikan setiap malam. Namun sialan! setelah ia mengetahui penyakitku, dia meninggalkaku. Dia meninggalkaku demi harta Julian dan tak terima dengan penyakitku. Air mataku terjatuh. Tidak! Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan Alice.
Dengan kasar aku menghapusnya lalu membuang muka darinya.

"Harry..."

Ia menarik lembut wajahku dengan satu tanganya agar aku melihat kedua bola matanya. Merah, lembab, berair, karenaku. Ia menangis karena kasihan padaku. Tidak. Aku benci di kasihani.

"Aku pernah mengatakan padamu bukan jika aku akan selalu siap mendengarkan keluh kesalmu Harry? Kau tidak perlu takut, aku akan selalu disini." Ia membawa satu tanganya menuju dadaku lalu meremasnya pelan. "Bersamamu."

Tubuhku lemas mendengarnya. Ucapanya bagaikan lantunan syair yang di putar di telingaku. Aku mencintainya. Namun rasa takutku lebih besar jika suatu saat di akan meninggalkanku. Ia berkata akan selalu bersamaku. Apa aku bisa mempercayainya? Sudah terlalu banyak luka yang ku pedam selama beberapa tahun ini. Julian, Ricela bahkan Mom, mereka semua seakan sudah menjadi saksi bisu atas ketidak layakanku untuk hidup. Namun semenjak datangnya Alice, Ia bisa menahanku, ia mengatakan padaku jika ia ingin aku terus hidup. ia selalu ada di saat aku membutuhkanya. Dialah gadisku. Dialah gadis bodoh yang bersedia melukai dirinya demi pria Bipolar brengsek sepertiku.

Dan kami sudah terlanjur memulainya. Dan aku tak akan melepasnya. persetan dengan penyakitku! Aku tak akan melepasnya.

Alice.

Aku tidak tahu apa yang ada di dalam fikiran Harry. Ia hanya diam dan menatapku. Aku sempat melihatnya menghapus buliran air mata yang bahkan belum sempat jatuh ke atas wajahnya. Ia begitu rapuh, namun ia terlalu naif dan keras kepala. Ia menyiksa dirinya dengan menutup dirinya dari siapapun. Masa lalunya, Julian, Ricela bahkan munkin teman-temanya seakan menekanya.

Ia terlalu takut aku akan meninggalnya. Sudah jelas tertera di kedua netranya terpancar kemarahan dan ketakutan bercampur menjadi satu. Aku mencintainya. Sungguh. Aku tidak peduli jika sekarang aku terlihat bodoh dan lemah.

Lagipula, mencintai lelaki Bipolar bukanlah hal buruk.

Aku tersenyum lembut mencoba meyakinkanya. Bibir Harry bergertar dan tak lama air matanya jatuh membasahi wajahnya. Ia tersenyum lembut padaku. Kini tanganya ia larikan ke wajahku dan menangkupnya. Ia mencium dahiku lama dengan bibir yang masih bergetar. Dahi kami bersatu, nafas kami memburu, hatiku berdenyut saat ia terus mengucapkan jika ia sangat mencintaiku. Kami bahagisa di atas kesedihan kami. Harry memundurkan wajahnya dan melihatku sendu.

"Terimakasih Alice."

Aku mengangguk cepat lalu tertawa bahagia melihatnya. Dengan cepat aku memeluknya erat dan menenggelamkan leherku di atas bahunya. Harry menaruh kepalanya di lengkukan leherku. Tubuh kami bersatu seakan hal ini adalah pertemuan terakhir kami.

Tiba-tiba Harry memundurkan tubuhnya lalu mencium bibir ku lembut. Aku membalasnya hati-hati kendati menyampaikan jika aku tidak akan meninggalkanya. Bibir kami saling bersatu, melumat tanpa ada hasrat memburu. Hanya ada kasih dan cinta dalamnya. Harry tersenyum diantara ciuman kami begitu denganku.

"Kau tahu, mencintaimu merupakan tantangan sendiri untuku Harry. Kau berbeda." Ujarku di tengah hembusan nafas kami yang saling memburu. Aku memundurkan wajahku lalu tersenyum padanya.

"Kenapa Alice?"

Aku mengernyit. "Kenapa?"

"Ya. Kenapa kau rela melakukan ini untukku?" Tanya Harry membuat tubuhku mematung. Aku tidak mempunyai alasan mengapa aku rela melakukan hal ini untuknya. Begitu banyak yang mencampur di otakku saat ini. Yang terpenting adalah, aku tidak akan meninggalkanya.

"Seperti kau sedang mendapatkan hadiah sekarung emas dari tuhan tanpa kau duga. Kau pasti tidak akan bisa mengungkapkanya meski kau ingin. Perkataan itu ada di fikiranmu namun tidak di bibirmu. Itu yang kurasakan padamu Harry."

Harry tersenyum. "Apa aku sekarang terlihat payah? Aku menangis di hapanmu seperti seorang perawan." Ujarnya lalu terkekeh.

Aku tertawa singkat. "Itu lebih baik dari pada kau harus menghancurkan kamar ini."

Kami berdua tertawa. Suara tawanya bagaikan lagu classic yang sedang di putar. Aku tersenyum dan terus mengucapkan rasa syukur dalam hati. Lagipula, aku beruntung dapat memilikinya. Harry bergitu perhatian padaku. Ia tampan walaupun sedikit pervert. Namun itu bukan masalah. Setiap manusia pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan bukan?

Mencintai tidak harus dari kelebihanya saja. Kita juga harus mencintai Kekuranganya dan menerimanya dengan tulus. Itulah yang dinamakan Cinta sejati. Dan menurutku, setiap pasangan harus menerapkan itu.

"Harry, mulai hari ini kau harus berjanji satu hal padaku."

Dengan ragu ia mengangguk lalu tersenyum. "Apa itu sayang?"

"Kau harus menceritakan semua masalahmu padaku dan jangan kau pendam sendiri. Aku tidak suka."

Ia mengangguk lalu menariku menuju pangkuanya. Kakiku melingkar dengan sempurna di sekitaran pinggulnya. Tanganya ia taruh di pinggulku seraya meremasnya lembut.

"Ya. Aku berjanji Alice."

Aku tersenyum. "Terimakasih Harry."

Ia mengangguk lalu menyandarkan kepalanya di atas dadaku. Aku menunduk melihatnya. Ia sedang mengerucut bibirnya dengan alis yang di kerutkan. Dan tak lama, aku merasakan tanganya masuk ke dalam bajuku lalu mengusapnya.

"Kau mengetahui hal ini dari siapa sayang?"

Aku terdiam beberapa saat, namun akhirnya aku teringat sesuatu. "Um, akan memberitahumu. Tapi sebelumnya ada hal yang ingin ku tanyakan padamu Harry." Ujarku dan ia langsung menganggukan kepalanya yang masih di atas dadaku.

"Mengapa kau menutupi hal ini dariku?"
.
.
.
.
.
.
.
TO BE CONTUNED.

huft akhirnya satu konflik selesai. Btw ini aku nulis chap ini di kantor polisi hwhw.

Oke. Thanks for reading. Dont forget leave a Vomments!:)

P/s : sorry feelnya kurang dapet. Aku gak jago soalnya :')

Bipolar Disorder [h.s]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang