Chapter 5

4.9K 597 36
                                    

Harry terus memasuki kamarnya. Aku hanya bisa mengikuti setiap langkah kaki yang ia gerakan. Tak lama Harry kembali bergeming seraya menatap lurus padanganya saat ini. Lantas, aku sedikit menengok dari balik tubuh Harry dan melihat wanita yang kini berada di dalam kamarnya.

Aku sudah melihatnya. Wanita itu memakai dress putih selutut dengan kacamata yang tersanggul di kepalanya. Ia telihat seperti wanita-wanita sosialita yang ingin berlibur di kapal ini. Ia menarik dan cantik. Tubuhnya bak model yang fotonya terpampang dimana-mana. Rambut pirangnya ia gerai dan sedikit menampakan warna lain dari rambut pirangnya. Pertanyaaku saat ini adalah, who is she?

"Who is she Harry?" Tanyaku menatap wajahnya.

Harry tampak tajam menatap wanita di hadapanya. Ia mengabaikan pertanyaan ku dan terus melihat wanita cantik yang masih berdiri menatap mata hijaunya. Wanita itu masih terdiam berjarak beberapa langkah dari Aku dan Harry. Ia sedang berdiri di ujung sofa dekat jendela tanpa melepaskan senyumnya saat bertemu Harry. Pancaran netranya sangat berbinar saat ia menatap Harry. Apa ia kekasihnya? Atau bahkan wanita itu adalah istrinya?

"Pergi." Harry bersuara rendah dan menusuk. Aku menatapnya dan ia tak kunjung melihatku. Apa ia menyuruh ku pergi? Well, aku sangat senang hati melakukanya. Jadi aku tak perlu repot-repot bermalam di kamarnya.

"I said, Go Ricela!"

Aku terhentak begitu pula dengan wanita di hadapanku. Harry menyebutlan nama Ricela yang ku asumsikan sebagai nama dari wanita cantik itu. Matanya berkaca-kaca menahan air yang sedikit lagi tumpah dari pelupuk matanya. Astaga. Harry memang keterlaluan! Mengapa ia tidak mengusirku saja sih!

"A--aku, aku merindukanmu Harry."

"Fuck! Jangan menunjukan wajah sialanmu itu di hadapanku lagi! Atau aku akan---"

"Harry! Dia wanita! Mengapa kau membentaknya!" Pekikku membuat Harry menggeram.

Harry dan Ricela--wanita cantik itu--dengan cepat mengalihkan pandanganya kearah ku. Aku meneguk ludahku berat saat pandangan mereka beralih menatapku. Aku paham jika ini bukanlah urusanku. Tetapi melihat wanita tak bersalah di bentak aku harus bertindak.

"Diam. Aku tak menyuruhmu bersuara Alice." Tutur Harry rendah dan penuh penakanan. Ia berada tepat di sampingku membuat nafasnya yang berhembus tak beraturan menerpa kulit wajahku saat ini.

"Tapi kau tak perlu membentaknya seperti itu!"

"I SAID SHUT UP ALICE!?"

Aku sedikit terlonjak kaget mendengar Harry membentaku. Jantungku berpacu lebih cepat lantaran suara nya begitu menggema di ruangan yang tak terlalu besar ini. aku masih diam tak berkutik. He make me afraid.

"Harry. Stop. Aku bisa menjelaskan semuanya."

"Simpan itu bitch!"

"Harry kumohon, Aku---"

"I SAID FUCK OF FROM ME!"

Ricela masih mematung di tempatnya dengan air mata yang sudah berhasil membobol pertahananya sejak tadi. Aku tahu kini hatinya seperti dilanda benda runcing yang berhasil menancap di tengahnya. Aku benci diriku yang hanya bisa diam saja menyaksikan pertengkaran konyol ini. Mereka membingungkan, atau sebenarnya akulah yang tak tahu apa yang sudah terjadi diantara mereka. And Hell. Aku benci saat seperti ini.

"Baiklah. Sampai jumpa Harry." Ucapnya yang hanya terdengar seperti sebuah bisikan. Ia mengambil tasnya cepat dan belalu melewati kami dengan kepala yang menunduk. Aku sempat melihatnya mengelap airmatanya dengan kasar seraya menabrak ujung bahuku. Well, aku tidak bisa menyalahanya jika ia membeciku. Aku tahu apa yang difikirkanya saat ini padaku.

Kami cukup lama berdiam dan akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Kurasa, keadaan mood Harry sedang tidak baik. Urat-urat sarafnya bermunculan menandakan ia sedang menahan amarah. Bisa saja ia melampiaskan kemarahanya kepadaku. Sungguh, jika benar, aku tidak akan mau menjadi pelayan pribadinya lagi. Ms. Ellen mendepak ku darisini pun aku bersedia. Asalkan aku bisa jauh dari laki-laki tempramental yang menjadi majikanku sekarang.

"Kau mau kemana?"

"Ke kamarku."

Ia tak menjawab melainkan diam dengan memadangku penuh balutan emosi yang masih melekat pada dirinya. Ia mencengkram tanganku kuat dan sebisa mungkin aku tidak mengeluarkan suara rintihan karena ulahnya. Aku takut Harry semakin marah dan melakuan hal-hal yang di luar dugaan. Sialan. Aku panik. Tapi kucoba untuk biasa saja.

"Oke listen me. Aku tahu kau bingung dengan kejadian bodoh tadi. Aku tidak bermaksud membentakmu dan, oh Fuck! Aku hanya tak bisa mengontrol amarahku jika melihat wanita sialan itu. Damn! forgive me Alice. Please stay here."

Oh.

Aku menatapnya tanpa sedikitpun membuat suatu gerakan. Cengkraman tanganya pun perlahan sudah melepas seperti Harry sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk menyentuhku. Aku memang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi melihat wajah lelah Harry, aku merasa jika ia sedang membutuhkan seseorang.

"Aku hanya ingin mengambil ponselku, Harry."

---

Malam ini hujan kembali datang. Dan untungnya Hanyalah rintikan-rintikan kecil dan bukanlah badai besar. Aku merapatkan jaket kulitku seraya menatap jendela yang setengah terbuka. Angin malam berhembus kencang menyapu setiap inchi kulitku. Harry sedang memainkan poselnya di ujung sisi sofa yang lain, dan aku hanya terdiam memerhatikanya dikarenakan ponselku mati dari satu jam yang lalu. Astaga, Ini benar-benar membosankan.

"Kau lapar?" Tanyanya lalu mengalihkan pandangan matanya dari ponsel ke arahku.

Ya aku sangat lapar dari pertama kita berkeliling Harry.

"Tidak. Aku tidak makan malam."

"Why? Are you diet?"

"hmm."

Harry tertawa seakan ini adalah hal yang lucu. Lagipula, itu alasan bodoh jika aku mengatakan aku sedang Diet. Kata Anna saja tubuhku kurus bak tengkorak hidup. Dan Hell. Aku sangat terlihat konyol saat mengatakanya.

"Hahahaha you're weird."

"Oh thankyou Styles."

Muka Harry memerah dan ujung matanya berkerut. Ia seakan memang terhibur dengan perkataan konyol ku tadi. Well, aku lebih baik melihat ia menjadi Harry yang selepas ini. Aku bahkan rela jika ia terus tertawa walau harus menghina diriku sendiri. Astaga. Tidak. itu terdengar sangat bodoh.

"Well, jika kau lapar, aku bisa mengambilkanmu makanan di restoran." Tawarku padanya.

"Tidak. Kau tetap disini. Biarkan pelayan lain saja yang mengantarkanya." Tolaknya tanpa melihatku dan masih berkutik dengan ponsel sialan nya itu. Hell. Aku tidak mengerti dengan Harry. Sikapnya menunjukan jika aku adalah selir yang harus melayani dirinya setiap saat. Aku memang pelayan pribadinya. Terapi aku juga manusia. Aku berhak mendapatkan privasi untukku sendiri.

"Aku sudah mengantuk Harry. Aku ingin tidur." Ucapku menatapnya datar. Mataku sudah mulai berat mengingat besok pagi aku sudah harus kembali bekerja di restoran. Dan aku tak mau reputasi karyawan terbaikku turun hanya karena lelaki sialan ini.

"Kau bisa tidur di ranjangku Alice."

"No. Aku akan tidur di sofa ini."

"Shit! Bisa kah kau tidak keras kepala! Tidur di ranjangku, atau aku akan yang menidurkanmu!" Ujarnya dengan intonasi yang cukup tinggi. Belum sempat ku balas, Ia beranjak dari sofa dan berlalu memasuki kamar mandi yang menyatu dengan kamarnya.

Aku tak mengerti dengan mood Harry yang suka sekali berubah-ubah. Ia bisa dalam satu waktu mengganti sikapnya dengan saat ekstrim. Ia seperti mengidap Mood Swing pada dirinya. Dan itu membuatku tertampar keras jika aku harus lebih berhati-hati bersikap jika sedang bersama Harry. Dan tentu, aku harus menjaga ucapanku walau dirinya begitu menyebalkan dan Tampan.

---

Halah halah.

Btw, vote kek. Komen ke. Gue tau nih tulisan Amatir banget. Tapi hargailahlah yaa.

Tapi yodah deh serah aja. Tetep gue lanjut kok.

Bye.

Bipolar Disorder [h.s]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang