Aku benar-benar idiot.
Aku orang yang paling goblok sedunia.
Gimana nggak? Adikku diculik tepat di depan mataku sendiri dan aku bahkan nggak melakukan apapun untuk menyelamatkannya. Aku hanya bisa menatapnya sambil terbaring nggak berdaya kayak pecundang. Yuri jelas-jelas meneriakkan namaku, tapi aku sama sekali nggak mengeluarkan usaha untuk setidaknya meraihnya.
Aku memang kakak yang payah.
Ambulance, polisi, bahkan pemadam kebakaran datang nggak lama setelah insiden penyerangan itu. Aku nggak tahu siapa yang sudah memanggil mereka, barangkali warga sekitar yang kebetulan melihat kami saat kami diserang. Aku setengah sadar saat tim paramedis menepuk-nepuk pipiku untuk membuatku terbangun, lalu hal selanjutnya yang aku ketahui adalah aku lagi terbaring di dalam ambulance dengan perban yang melilit dahiku kayak mumi serta gips yang terpasang di tangan kananku.
Aku bahkan sampai nggak tahu kalau kondisiku separah itu.
Dara jadi orang pertama yang aku lihat setelah aku siuman, dan jujur saja, aku merasa amat sangat lega saat aku mengetahui bahwa pacarku baik-baik saja.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Dara, sementara aku yang masih agak teler ini menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil.
"Agak puyeng, tapi nggak apa-apa." jawabku.
"Syukurlah." Dara tersenyum kemudian mengecup keningku pelan. Aku bisa melihat dengan jelas bekas air mata di pipinya.
"Kamu kenapa nangis?" tanyaku, lalu sedetik kemudian aku mengutuk diriku sendiri karena sudah melontarkan pertanyaan yang bodoh.
Ya jelas lah dia nangis. Siapa sih yang nggak akan nangis kalau melihat pacarnya terguling di dalam mobil yang terbakar dan adik iparnya baru saja diculik?
"Menurut kamu?" tanya Dara lagi, membuatku tersenyum kecil kemudian menggerakkan badanku sedikit untuk menciumnya.
"Kita harus pergi." kataku, segera setelah aku selesai mencium Dara. Dengan gerakan yang cepat dan agak sok aku bangkit dari tempat tidur ambulance yang keras ini—membuatku langsung meringis karena seluruh badanku rasanya sakit semua.
Dara membantuku untuk turun dari ambulance, dan begitu aku sudah menapakkan kakiku di aspal, mataku melihat pemandangan paling mengerikan seumur hidupku.
Aku melihat Civic, dengan kondisi yang sudah setengah gosong, masih dalam posisi terbalik di tengah-tengah jalan raya yang saat ini lagi di blokir oleh para polisi. Civic-ku, mobil kesayanganku, belahan jiwaku, kini teronggok begitu saja kayak rongsokan.
Rasanya jadi pengen nangis.
Dasar Taehyung brengsek, dia harus ganti rugi mobilku!
"Hyung!" sapa Jimin, yang langsung berlari kearahku padahal sebelumnya dia lagi mengobrol dengan seseorang berseragam polisi. Anak itu nggak malu-malu untuk memelukku, membuatku agak canggung apalagi aku jarang dipeluk cowok dan ini tempat umum.
Ugh. Rasanya kayak jadi uke-seme aja.
"Syukurlah hyung udah siuman! Dara noona nangis barusan dan aku nggak tau apa yang harus aku lakukan untuk menenangkannya, tapi aku pikir hyung bisa—" omongan Jimin yang penuh semangat itu terpotong begitu Dara memberikan death glare andalannya, membuat anak itu langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
Aku terkekeh pelan kemudian membalas, "Iya, udah tau kok Chim. Kamu nggak apa-apa?"
Jimin mengangguk penuh semangat kemudian menjawab, "Iya, aku nggak apa-apa. Tapi... orang-orang itu berhasil membawa Yuri noona, hyung. Aku nggak sempat menahan mereka, maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Finale
FanfictionAku Kim Taehyung, dan akulah yang menyebabkan semua mimpi buruk kalian. Ya, kurasa nggak perlu basa-basi dan sembunyi lagi sekarang, pada akhirnya semua rahasia akan terbongkar. Dan karena aku orang yang baik, aku bakal dengan senang hati mengungkap...